Hidung Bu Lyra merah dan matanya membuat kelopak yang besar. Hampir satu pack tisu sudah dipakainya untuk mengusap setiap tetes air matanya yang jatuh. Kepergian Rayna adalah mimpi buruk baginya. Setelah menjual mobil, ia pikir hidupnya akan lebih baik karena ada tabungan yang bisa dipakai selagi suaminya mencari pekerjaan yang tepat. Tapi ternyata itu hanya kesenangan sementara yang tak berarti dibandingkan dengan kenyataan bahwa Rayna telah tiada.
"Bu, yang sabar ya, ini cobaan," seru seorang tetangga yang duduk di sebelah Bu Lyra.
Bu Lyra mengangguk lemah, "Iya Bu, terima kasih."
Jenazah Rayna yang sudah dibersihkan diletakkan di ruang tamu. Para tetangga dan kenalan Pak Fedra juga hadir untuk berbelasungkawa. Goo yang duduk di hadapan Bu Lyra dengan berbatasan jasad Rayna, juga tak berhenti menangis.
"Kak Ray, kenapa kakak pergi?" serunya.
Delvian mengelus pundak Goo, berusaha menenangkannya padahal ia sendiri pun lebih kacau dari itu. Dia baru saja pulang dari rumah sakit selepas beberapa jam diinfus.
Daniel, kenapa kau melakukan ini? Rayna adikku, aku sangat menyayanginya. Kau adalah orang tak punya hati, batin Delvian.
"Nak Delvian," panggil Bu Reta yang juga ikut membacakan doa untuk Rayna.
"I--iya Bu?" Delvian menoleh.
"Maaf sebelumnya, mungkin kalau Ibu memberitahu lebih awal kalau ada orang asing masuk ke sini--"
Delvian tersenyum tipis, "Ah, tidak apa-apa Bu. Terima kasih sudah memberitahu saya sore itu."
Bu Reta mengangguk penuh rasa iba, "Semoga kamu diberi kekuatan untuk menghadapi semua ini ya Nak."
Delvian mengangguk, "Terima kasih."
"Kak, kenapa Kak Ray pergi cepat sekali," rengek Goo pada Delvian.
"Kamu yang sabar ya, kakak juga nggak mau hal ini terjadi."
Tiba-tiba, tubuh Goo oleng. Delvian segera menahannya. Bu Lyra sontak melihat anaknya pingsan.
"Biar aku yang bawa ke kamar saja Bu," seru Delvian sembari mengangkat Goo.
Setelah Goo ditidurkannya di kasurnya, Delvian mengelus kepala adiknya itu dengan wajah khawatir.
"Goo, kakak tidak akan membiarkan Daniel melakukan hal yang sama padamu."
----------
Pak Fedra pergi ke rumah sakit, meninggalkan orang-orang yang tengah berduka di rumahnya. Dia akan mengambil hasil dari autopsi tubuh Rayna. Sekarang, akan ditahu jelas siapa sosok pembunuh yang tega menebas kepala anaknya itu. Di sana, dia didampingi dua orang polisi yang mengusut kasus kematian Rayna.
Pak Fedra berdiri ketika seorang dokter perempuan yang mengenakan masker menghampirinya dengan lembaran-lembaran kertas, "Bagaimana Dokter?"
"Baik Pak Fed, saya rasa ada kesalahan atas jawaban yang dilontarkan oleh anak Bapak, Delvian Ranta. Menurutnya pelaku adalah seorang pria yang kurang lebih tinggi dan umur sama seperti dirinya. Tapi setelah saya periksa, ternyata pelakunya adalah seorang perempuan. Di bagian lengan dan bahu korban saya menemukan sidik jarinya. Selain itu, pisau yang digunakan untuk menusuk perut korban juga terdapat sidik jari yang sama."
"Seorang perempuan? Siapa dia, Dok?"
"Ini," Sang dokter menunjukkan sebuah identitas beserta foto seorang perempuan yang dia maksud, "namanya Lusifa Erika berumur sembilan belas tahun. Ternyata dia dengan korban pernah satu SMA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's Next [H I A T U S]
Mystery / ThrillerHighest rank #22 in Thriller Rank #24 in Mistery Rank #21 in Psycho Rank #20 in Psikopat Rank #2 Menegangkan Siapa sangka, kehilangan semua saudara membuat seseorang depresi berat. Merasa tak memiliki penopang hidup, dan dihantui bayang-bayang kehad...