"Selamat tinggal."
Ditengah ucapannya ia mengeluarkan air mata. Walau memang sepertinya tindak ingin mengakhiri hidup hanya akan dilakukan manusia-manusia tak berakal, tetapi kini hal itu terjadi pada gadis enam belas tahun. Goo mendadak tersenyum dengan mata terpejam. Kakinya perlahan mulai melepas dudukan kursi, namun tiba-tiba, pijakannya terasa kembali berdiri. Kursi itu tidak jatuh.
Secepat kilat Goo membuka mata. Tenggorokannya terasa tersendat, volumenya seakan mengecil. Ia menelan ludah, tetapi berusaha mengumpulkan keberanian-keberaniannya yang tersisa.
"Malam ... Goo Atletina ..." Pria itu tersenyum dengan mata setajam pisau.
"Kamu? Mau apa kau kemari? Belum puas?"
Pria itu menggeliatkan kedua bahunya, "Sebenarnya aku tidak akan pernah puas. Dan ... sepertinya kau ingin mengakhiri hidupmu ya?" Daniel mengangkat kedua alisnya.
Goo menggertak, "DIAM, BRENGSEK! Kembalikan nyawa kakakku!"
"Apa?" Daniel tertawa, "Kau sudah gila, ya? Orang yang sudah mati tidak akan bisa kembali."
"Aku sangat membencimu."
Daniel mengangkat sebelah alisnya, "Kalau begitu, biar aku bantu kau mengakhiri hidup."
Goo menggeleng dan cepat turun dari kursi, melepaskan lingkaran tali pada lehernya, "Berhenti. Aku tidak sudi nyawaku hilang di tanganmu."
"Sayangnya tidak bisa." Daniel maju perlahan.
"PERGI! PERGI!"
"Kenapa kau tidak berteriak minta tolong saja?"
Goo yang geram segera mendorong tubuh Daniel, namun ternyata pertahanan Daniel lebih kuat. Daniel membungkamnya, dan mendudukkan Goo pada kasurnya. Ia mengeluarkan pisau dengan tangannya yang bersarung tangan. Secepat kilat, tangannya bergerak mengiris telinga kanan Goo.
Goo memberontak, tapi percuma. Dia juga sudah lelah. Air mata Goo berjejalan keluar membasahi tangan kiri Daniel yang menutup mulutnya. Daniel tak ingin berlama-lama, tempat ini sama sekali tak aman untuknya. Untuk mengakhiri apa yang sudah ia mulai, Daniel menancapkan pisau itu pada dahi Goo. Seketika Goo harus menghembuskan nafas terakhir di tangan pembunuh kakaknya.
"Ini semua salah kalian. Kalian tidak seharusnya datang ke rumahku waktu itu, aku jadi harus menepati janjiku untuk memberitahukan siapa diriku sebenarnya."
----------
Delvian duduk di kasurnya. Kini ia berada di balik jeruji besi dan menunggu dokter melakukan pemeriksaan terhadap dirinya. Selama berada di sini, ia hanya diam dan merenung. Ia berpikir kepergian Rayna tidak akan membuatnya merasa sesulit ini. Tapi ternyata, bercakan darah, mutilasi, mayat, belum bisa diterimanya. Otaknya tak memberikan toleransi untuk hal buruk itu.
Ia selalu merasa tertekan, entah apa penyebabnya. Ketika bertemu dengan Daniel, emosinya selalu memuncak. Bayang-bayang wajah Rayna terus menghantuinya, hingga ia harus berhalusinasi kalau Rayna masih hidup. Paling bahaya yang bisa terjadi, jika ia mulai berhalusinasi tentang keberadaan Daniel. Bisa-bisa orang lain dibunuhnya.
"D-A-N-I-E-L," ejanya.
Seketika wajahnya merah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's Next [H I A T U S]
Mystery / ThrillerHighest rank #22 in Thriller Rank #24 in Mistery Rank #21 in Psycho Rank #20 in Psikopat Rank #2 Menegangkan Siapa sangka, kehilangan semua saudara membuat seseorang depresi berat. Merasa tak memiliki penopang hidup, dan dihantui bayang-bayang kehad...