Mata Goo membelalak ketika melihat Rayna dengan tubuh tidak utuhnya dan seorang bermasker dengan pakaian serba hitam. Seketika perut Goo terasa bercampur aduk, mual mengampirinya. Air mata mulai berlinang turun. Syok berat, tentu saja. Pikiran dan otaknya sama sekali tidak jalan saat ini. Tubuhnya kaku dan seolah kehilangan semangat hidup. Karena tak tahan ketika melihat kepala yang terdiam di pojok sana, Goo berbalik.
Seakan ada yang mengganjal di tenggorokannya, dia merasa tercekat. Dadanya sesak, gerimis air mata lambat laun menjadi deras. Baju atasnya mulai dibasahi keringat dan air mata. Goo merasa susah untuk mengeluarkan suaranya bahkan bergerak. Bulu romanya berdiri, bibir dan seluruh tubuhnya gemetar. Hingga tanpa sadar, Si Pembunuh sudah berada di belakangnya, siap dengan parang yang sudah menebas leher Rayna.
"Jangan takut." Dia menyeringai.
Goo tersentak, tetapi masih hanyut dalam ketidakpercayaan yang tak berujung.
Pria itu maju dua langkah, "Ingat, siapa yang kau tabrak minggu lalu? Seorang pria tertutup topi kan?"
Mata Goo melebar, dia meneguk salivanya.
"Ingat tulisan-tulisan itu? Apa kau masih tak bisa menebak siapa aku?"
Goo akhirnya mengumpulkan semua keberaniannya dan berbalik, menatap mata tajam dan dingin dari pria itu, "Dan--Daniel?"
Pria itu terkekeh, "Halo, Goo Avena Atletina. Apa kabar?"
Goo melangkah mundur, "Jangan mendekat. Apa yang sudah kau lakukan pada kakakku, hah?"
Si Pembunuh terus maju perlahan mengikuti langkah Goo, "Sudah kukatakan. Kalian ingin mengetahui aku kan? Dan sekarang aku sudah menunjukkannya, tapi akhir hidup kalian harus diserahkan padaku."
Goo mengusap air mata dan menyedot hidungnya dalam-dalam, "Aku belum mau mati. Kenapa ... aku dipertemukan dengan orang sepertimu? Kumohon, pergilah."
Pria itu memutar parangnya,"Aku Daniel, aku ingin membunuh siapa saja."
Setelah terus mundur, akhirnya punggung Goo bersentuhan dengan dinding samping pintu kamarnya, air matanya semakin banyak keluar, "AKU MOHON PERGILAH!" Dia sudah merasa frustasi.
"GOO?" Delvian membuka pintu rumah ketika mendengar teriakan perempuan itu.
Dia melihat Goo tengah meringkuk dengan kepala yang dipengangi kedua tangannya, ketakutan. Seketika itu, sorot mata Delvian dan Si Pembunuh saling bertemu. Delvian langsung mendorong keras pria serba hitam dan membuat tubuhnya terbentur meja di belakangnya.
"Siapa kau?"
Si Pembunuh menyeringai, "Lihat, apa yang kupegang. Kalau kau tak membiarkan kupergi saat ini, Goo dan kau akan kuhabisi sekalian." Pria itu menunjukkan parangnya.
Delvian tertegun. Dengan tangan kosong dia tak mungkin bisa melawan pria itu. Sebelum memberi jawaban, dia menghampiri Goo dan merangkulnya. Tangis Goo pecah dan dia segera memeluk kakak laki-lakinya itu.
"Goo, tenanglah ..." seru Delvian.
Dia tak bisa berhenti menangis, membuat mata dan hidungnya merah, "Kakak."
Delvian mengelus-elus pundaknya, "Iya sudah, ada kakak di sini."
"Hei dokter bodoh, kau terima tawaranku?" Si Pembunuh menaikkan kedua alisnya.
Dengan berat hati, terpaksa Delvian mengangguk. Melawan, Goo akan dalam bahaya. Tidak melawan, orang lain dalam bahaya karena pembunuh berantai masih berkeliaran.
"Bagus," Pria itu menepuk pundak Delvian, "mungkin lain kali kita bisa jadi partner bedah yang baik."
Si Pembunuh memasukkan parang pada tasnya, dan berjalan keluar rumah. Entah bagaimana cara dia akan meloloskan diri dari penglihatan manusia, tetapi Delvian dan Goo tak ingin memikirkan itu sekarang. Delvian berpaling pada Goo setelah dia melihat Daniel keluar dari halaman depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's Next [H I A T U S]
Mystery / ThrillerHighest rank #22 in Thriller Rank #24 in Mistery Rank #21 in Psycho Rank #20 in Psikopat Rank #2 Menegangkan Siapa sangka, kehilangan semua saudara membuat seseorang depresi berat. Merasa tak memiliki penopang hidup, dan dihantui bayang-bayang kehad...