Part 3. Something

160 37 5
                                    

Sebuah desiran menjalar ke sekujur tubuh kala kening mereka mulai beradu. Gadis pirang dengan cepat mengikis jarak di antara mereka, dengan kedua tangan yang ia lingkarkan pada leher pria di hadapannya.

'Aku Juan, kau siapa? Baiklah aku berjanji kau akan menjadi wanita yang pertama kali aku kecup saat dewasa nanti.' Suara dari masa kecilnya kembali mengiang.

Tanpa memperdulikan sekitar serta partnernya, ia berlari tak tentu arah. Halaman belakang menjadi tujuan akhir. Beberapa tanaman menjadi korban amukannya.

Terlihat frustasi. Bingung. Gelisah. Semua emosi bercampur dalam satu waktu. Tak ada yang berani menghampiri bahkan menghentikannya dalam keadaan demikian. Lain halnya dengan remaja berambut pirang lurus yang seakan telah kebal mentalnya menghadapi perilaku kasar seorang Juan ketika marah.

"Ada apa? Pertandingan baru saja dimulai. " Tak ada jawaban

"Jawab aku! " Mata merahnya menatap tajam ke arah lawan bicaranya. "Ada masalah apa? "

"Pertandingan bodoh. Aku berhenti, dan tinggalkan aku!" Amarahnya ia redam sejenak

Tak habis cara, Anna. Begitulah ia akrab disapa. Duduk melantai di sampingnya dengan menirukan gaya yang membuat Juan naik pitam.

"Berhenti meniruku! aku perlu waktu untuk sendiri! " Secepat kilat ia menyambar sebuah meja hingga terbalik.

Ekpresi tersebut tak pernah ia tunjukkan terlebih kepada lawan jenis. Sejak dua hari lalu, tepatnya tanpa sengaja bertemu dengan wanita dari masa lalu yang kini telah dewasa, pikirannya bak sebuah kaset usang yang diputar bejuta kali.

Sang Juanpa kecil tengah asyik bermain bersama anak seusianya di sebuah taman dekat komplek ia tinggal. Seperti anak-anak pada umumnya, mereka berlari ke sana-kemari. Bersembunyi di balik pohon. Saling melempar pasir. Dengan wajah lusuh. Badan lengket, dengan aroma khas. Ia tak menghiraukan hal itu. Baginya taman adalah bentuk nyata syurga dunia.

Rumahnya dapat dibilang cukup mewah jika dibandingkan dengan deretan rumah lainnya di blok A1. Suasananya sejuk, membuat siapapun enggan beranjak dari sana. Di halaman depan terdapat garasi yang letaknya berdampingan dengan tembok rumah. Di sekelilingnya di tanami berbagai tanaman termasuk bunga matahari. Tak lupa interiornya yang sangat klasik. Gerbangnya dilapisi cat berwarna emas.

Kembali menilik Si rupawan yang tengah disuapi makanan oleh pengasuhnya. Meski usianya telah genap 8 tahun, kedua orangtuanya tetap menaruh kepercayaan kepada beberapa orang pengasuh untuk mengurusi segala sesuatu kaitannya dengan pengeran kecil mereka. Secara, 19 jam dalam sehari mereka habiskan untuk profesi masing-masing, hingga tak ada waktu bersantai dalam kamus keduannya.

Ujung alisnya bertemu saat melihat seseorang tertunduk di balik pohon besar yang dalam mitos warga, dipercayai sebagai tempat berkumpulnya karma buruk. Meski demikian wawasannya masih belum sampai untuk menerka makna dari mitos tersebut.

Perlahan namun pasti, tangan kecilnya ia tangkupkan pada wajah mulus gadis remaja itu. Tak ada batasan umur dalam tumbuhnya benih asmara. Ia yang kala itu kerap menjumpai pasangan yang tengah bermesraan, mencoba mempraktikkan apa yang ia tangkap. Dengan polos ia berkata.
'Aku Juan, kau siapa? Baiklah aku berjanji kau akan menjadi wanita yang pertama kali aku kecup saat dewasa nanti. Jadi, berhentilah menangis!'

Angin sore menerpa helaian rambut cokelatnya hingga tampaklah sebuah simpul di bibir merah muda. Serta mata sembab karena menangis berubah menjadi tatapan berbinar.

Lisannya tetap terkunci hingga seorang pria bertubuh tegap datang dan merangkul wanita itu.

2 jam berlalu ia gunakan untuk merenung di sebuah caffe di pinggir kota. Siang berganti petang ia lalui dengan menyeruput secangkir kopi hangat. Aromanya menyeruak ke hidung, masuk ke dalam syaraf dan tembus langsung ke otak, seolah memformat apa yang baru ia lewati.




Selamat menikmati 😊
Bantu read, vote,  and comment juga ❤
Feedback?  Bilang aja 👍

TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang