Part 14. TEN

64 7 1
                                    

Matanya tertuju pada titik hitam di bagian tengah cermin berbentuk oval. Cara yang ampuh untuk melatih konsentrasi. Dua menit lamanya tidak berkedip. Menahan perih. Bulir itu akhirnya mentes. Mengalir dari pipi ke dagu.

Lampu telah kehilangan fungsinya di pagi hari. Jendela dan semua benda yang mendatangkan cahaya ditutup rapat dengan kain hitam. Membuat ruangan yang tidak terlalu besar nampak mencekam. Keran dibiarkan terbuka agar air dapat mengalir dengan deras begitu juga penyesalannya.

"Sial!" Umpatnya saat ponselnya berdering berisi peringatan dari James yang menuntut haknya atas pengorbanan yang ia lakukan sepuluh tahun lalu. Bantuan yang sama sekali tidak diharapkan oleh Jean. Meski demikian, lelaki kejam itu berperan dalam melalui masa terpuruknya.

Sepuluh tahun lalu adalah sekarang dalam masa depan. Semua yang terkasih pergi satu persatu. Entah karena takdir atau muak terhadap peliknya dunia.

Satu dari miliaran orang di dunia yang membenci angka, ia termasuk ke dalam mereka. Angka genap itu merasuk menghancurkan pondasi kebahagiaan yang sedari dulu ia pupuk dengan sangat hati-hati. Kebahagiaan yang datang setelah badai dahsyat menerpa. Dan kini, angka itu kembali merenggut bagian dari nadinya, bagian dari jantungnya, berlian di hidupnya.

Dia tidak sendiri, bibi May di sana untuk beberapa waktu. Ia sengaja tak bersuara untuk memahami keadaan keponakannya itu. Sedari kecil, Jean selalu mengurung diri dalam kegelapan untuk sekedar merenung, kemudian kembali kepada dirinya yang periang. Tentu beda waktu beda pula sikapnya, kini ia lebih menutup diri. Tak ingin seorang pun mengambil andil dalam skenario hidupnya.

Lilin aroma terapi dinyalakan untuk menambah penerangan di dapur. Ya,saat ini bibi May tengah menyiapkan sarapan. Dengan perlahan ia memotong bahan makanan karena tak ingin jarinya ikut teriris. Aroma dari bumbu halus yang telah ditumis begitu menyeruak. Wangi khas masakan Asia. Dulu ia pernah bekerja sebagai chef di kapal pesiar yang melayani rute pelayaran Indonesia-Yunani. Jarak yang jauh dan waktu yang cukup lama membuatnya hafal persis seluruh resep masakan Asia tanpa dikehendaki.

Daging sapi kualitas super dimasukan ke dalam bumbu yang telah ditumis sebelumnya. Diaduk rata dengan api sedang. Sedikit bubuk cabai sebagai penyeimbang rasa manis. Setengah jam kemudian masakan dengan bau lezat itu tersaji di meja makan.

"Jean, mari kita sarapan, aku siapkan masakan terlezat yang belum pernah kau coba."

Jean tetap pada posisinya, duduk ditepi ranjang. Menatap lurus ke depan. Ia mengerjap silau ketika bibi May menyingkap tirai hitam yang dipasang pada jendela.

"Kenapa bibi... " Belum selesai bicara, tangan wanita paruh baya itu menyentuh lembut telapak tangan Jean.

"Ayo makan! " potong bibi May.

Suara sendok dan garpu beradu meramaikan suasana hening yang menyelimuti. Bibir ranum masih terkatup, tidak ingin mencicipi makanan di hadapannya.

"Ayo makan! Jangan seperti ini, kau harus memperhatikan kesehatanmu!"
Tidak ada jawaban.

"Nak... Setidaknya satu sendok saja."

"Tidak."

"Ada apa? Kau masih sedih?"

"Tidak."

"Lalu mengapa kau mengurung diri dalam gelap dan tidak mau makan atau sekedar berbicara?"

"Aku sedang menghukumnya."

"Siapa?"

"Jiwaku." Jawabnya dengan tatapan kosong.

"Jiwamu?"

"Ya, aku harus menghukumnya, karena kehadirannya hidupku tidak bahagia, dia membuat mereka perlahan menghilang, dia harus lenyap." Perkataan itu tidak sepenuhnya dicerna.

TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang