Part 8. The CEO

55 21 2
                                    

Wangi kopi menyeruak masuk ke dalam penciumannya. Mata sembapnya sepenuhnya telah terbuka. Nampak sosok wanita  berkaki jenjang mendekat dengan membawa secangkir kopi kemudian meletakkannya di atas nakar.

"Good morning." Sapa wanita itu dengan ramah. Yang disapa mengerjapkan mata indahnya beberapa kali. Mengumpulkan kesadarannya.

"Morning, bagaimana kau bisa kemari?" Ia beranjak dan menggulung rambutnya asal.

"Ayo nikmati dulu kopinya."
Setetes kopi hitam kental berhasil menata ulang pikirannya.

"Bagaimana kau bisa kemari?" Tanyanya lagi.

"Semalam kami membicarakannya, dan ya pria itu masih membutuhkanmu, seperti biasa tak dapat sehari pun bekerja tanpa sekretarisnya ini. " Jawab wanita itu disertai tawa renyah.

Alih-alih menjawab. Sebuah seringaian muncul. Ia meremehkan dirinya dapat diterima kembali setelah kecerobohan yang ia lakukan.

"Mana mungkin, aku mengacaukan segalanya."

Ketukan dari heels begitu menggema di pagi yang sunyi.

"Dia tidak sejahat itu memecat adik kesayangannya. Dia menitipkan ini." Sebuah map dan bolpoin.

"Dia tidak berubah." Senyum tulus tersaji begitu menyaksikan lima lembar dokumen yang perlu ia kerjakan. "Catatan keuangan, daftar hadir pegawai, kemajuan industri di Asia, sasaran investor, meeting, dia ingin menghukumku. Baiklah kau boleh pergi karena aku harus menyelesaikan semuanya.  Oh ya terimakasih kopinya dan bagaimana kau bisa masuk kemari? "

"Pintumu tidak terkunci. See you."

Berendam di air hangat cukup membuat tubuhnya kembali rileks. Kemeja putih dan rok hitam menjuntai sampai atas lutut. Foundation dan lipstik merah. Rambut yang tergerai sempurna menutupi leher jenjangnya. Anting berlian sebagai pelengkap.

Kabar baik yang baru saja disampaikan calon kakak iparnya membuatnya sedikit lega. Meski demikian, bukan Jean namanya jika tidak mengusut tuntas masalah yang lalu. Ia berniat menemui Juan pada istirahat pertama.

Bentley Continental GT Coupe masih setia menemaninya menerobos lalu lintas yang lengang di jum'at pagi. Senyum merekah ia tampakkan selama perjalanan.

Senyumlah, maka usiamu akan nampak lebih muda. Batinnya mencoba untuk menyemangati Sang empu.

Sebuah gedung dengan 18 lantai tepat berada di hadapan wanita dengan tinggi badan 170 cm itu. Beberapa pasang mata meliriknya. Membicarakannya dalam hati mereka. Ruangan bertuliskan CEO dengan pintu yang terbuat dari kaca telah menunggunya untuk dijamahi.

"Masuk." Bariton suara yang terdengar tak asing . Serak. Khas lelaki dewasa

"Dave..." Ucapnya lirih setengah takut.

"Duduklah, teh atau kopi?" Dijawabnya dengan gelengan kepala.  "Tenang aku tidak akan menyakitimu seperti kemarin, sungguh aku minta maaf."

Bagaimana pun juga CEO di hadapannya itu tidak seramah yang ia kenal. Terutama jika ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, ia tak sungkan untuk melampiaskan amarahnya pada pihak manapun. Tak mengenal waktu dan tempat. Ia tahu persis sikap kakak angkatnya.

"Tidak, Dave, aku yang seharusnya minta maaf telah menghancurkan pertemuanmu. " Ucapnya tulus. "Terimakasih kau telah menerimaku kembali. " Lanjutnya.

"Lupakan hal itu, aku telah melukaimu, bagaimana rahangmu? Apa masih sakit? " Ia menyibak helaian rambut yang menutup rahang yang memar.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Biar aku lihat!" Dengan sedikit paksaan entah dengan sengaja ia menekan rahang itu cukup kuat hingga Jean meringis kesakitan.

"Cukup! aku telah mengerjakan dokumen yang kau berikan, dan filenya akan segera aku kirim, permisi. "

Perasaan buruk menghampirinya. Meninggalkan ruangan adalah jalan pintas terbaik. Ia mengatur napas dan mendaratkan bokongnya pada sofa empuk di lobi.

Dia dalam amarahnya. Batinnya. 

Berkutik dengan monitor telah menjadi candu baginya. Setelah yang dialami, ia enggan untuk beranjak ke ruangannya dan memilih mengerjakan tugas di lobi, yang ia rasa lebih aman.

Dentingan jam berbunyi,  menandakan waktu istirahat tiba. Seluruh staff dan karyawan keluar dari zona sibuk mereka untuk sekedar mengisi perut atau membasahi kerongkongan mereka.
Waktu satu jam dirasa cukup baginya untuk menemui Juan dan menguak fakta.

"Tunggu! " Suara itu lagi. "Satu jam lagi kita akan ada rapat. Siapkan dirimu! " Perintahnya halus.

"Tapi Dave, bolehkah aku pergi sebentar hanya 30 menit? "

"Tidak. "

"15 menit? "

"Tidak!  10 menit aku setuju."

"Baiklah." Helaan napas terdengar darinya.

Tidak ada celah untuk menemuinya. Sekali dia memerintah takkan ada yang dapat menentang. Ini sepenuhnya akibat yang harus ia tanggung . Perubahan sikap yang sangat drastis membuatnya rindu akan sosok kakak yang mengayomi adiknya tanpa peduli status darah.

" Apa yang kau lakukan patut mendapat balasan. Jika kau tidak menerimanya maka putar kembali waktu agar kau dapat mencegah semuanya. "

Di lain tempat Juan telah tiba dan memesan dua cangkir kopi. Memainkan ponselnya sembari menunggu wanita itu datang. Menghiraukan ramainya suasana yang membuatnya jengah.

Selamat menikmati. 👍
Terlalu singkat ya?
Read , vote, and comment
Krisar sangat dibutuhkan

THANK YOU  💓

TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang