"Shut up!"
Argumen yang tak henti terlontar membuat sinar matahari kembali redup, menaungi telinga yang terlalu rapuh untuk mendengarkan perpecahan hebat. Kembali teriakan terdengar begitu pelatuk ditarik dan mengenai bahu wanita berusia empat puluh tahun yang masih berbalut piyama.
"Daddy, stop it!" Jemari lemahnya menahan senjata api yang siap kembali melontarkan pelurunya. Kasihan mommy. Lanjutnya.
Seperti kapas tertiup angin, pria itu terlalu kuat bagi remaja seusianya. Semuanya tercekat. Membisu. Bau darah segar memenuhi indera penciuman. Tangisan bayi berusia empat belas hari menambah kelam hari bahagia bagi sebagian orang. Jemari kekar bergetar. Pupil cokelat membesar. Wajah pucat pasi. Tak ada rasa bersalah. Kepuasan menjalar memantikkan semangat untuk ikut mengakhiri hidup.
"Daddy!Mommy!"
Kabut hitam berpendar mengalur sepasang batu nisan yang baru ditanam beberapa menit lalu. Tak ada sanak saudara, kerabat, atau tetangga. Hanya remaja dengan bayi kecil di pangkuannya bersama lima orang polisi yang bebaris di belakang mereka. Bibir ranumnya makin bergerar hebat begitu menyadari ia akan dicecar seribu pertanyaan dan jutaan misteri yang akan segera dihadapi.
"Anda sudah selesai?" Seorang polisi perempuan berjongkok berusaha mensejajarkan posisinya.
"Ya."
"Biar aku yang menggendong adikmu." Seperti tersengat, polisi itu menjauhkan tangannya dari tubuh Sang bayi. "Baiklah. Ikut kami!"
Bau kesengsaraan sarat tercium ketika memasuki gerbang besar yang menjadi penyambut para narapidana itu. Keduanya diarahkan menuju sebuah ruangan di sebelah Barat bagian administrasi. Jika kau menajamkan pendengaran, maka akan terdengar jeritan dan keluhan para pemakai baju orange yang ingin kembali menghirup udara bebas.
"Silakan duduk!ĺ Tak sedamai tadi, polisi di hadapannya memasang tampang serius dengan kebiasaannya memelintir kumis tebal yang sangat menjengkelkan. "Kau tahu untuk apa datang ke sini?"
Untuk mencukur kumismu. Kalimat yang akan Jean ucapkan jika detik itu ia tidak berkabung.
"Ya, aku tahu."
Introgasi berjalan alot dengan Jean yang tak sepenuhnya terbuka terkait penyebab terbunuhnya orangtuanya secara bersamaan. Ada rencana yang telah ia susun matang demi sang adik kelak. Seburuk apapun garis kehidupan orang tuanya, takkan mungkin ia membiarkan mahluk mungil tak berdosa itu membeci dua orang yang menjadi sebab ia terlahir di dunia.
"Seperti kataku, jika kau tidak memberikan keterangan yang sebenarnya maka kau akan menjadi tersangka."
Kalian salah besar jika berpikir tentang bukti pembunuhan yang mungkin terekam oleh CCTV di rumah keluarga Murphy, karena hidup kami terlalu monoton sehingga rumah yang tak cukup besar itu sengaja tidak dipasang CCTV atau kamera lainnya.
"Aku mengatakan semuanya. Ayahku tidak sengaja menembak ibuku saat ia membersihkan senapannya. Karena merasa bersalah, ia juga membunuh dirinya. Itu saja, aku akan pergi sekarang!"
"Apa mereka tak mengajarimu sopan santun?" Pertanyaan yang berhasil membuat tubuhnya berbalik. Rahangnya mengeras. Matanya memanas.
"Aku tak diciptakan untuk berlaku sopan terhadap manusia yang ingin kaya dengan mencampuri urusan orang lain."
Ya, pernyataan paling menusuk yang pernah diterima pimpinan polisi dari remaja berumur delapan belas tahun. Kebijaksanaannya sudah mampu menjangakau tahap dewasa, ia tak ingin perselingkuhan dan gila harta menjadi kasus yang dianggap klise untuk bahan headline berita di negara paman Sam tersebut dalam beberapa hari ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEN
General FictionFakta bahwa cinta tak memandang usia diamini oleh seorang remaja pria bernama Cristopher Juanpa William atau akrab dipanggil Juan. Ia sempat memiliki kelainan yang mungkin dianggap wajar bagi segelintir orang, yaitu penyuka sesama jenis. Hingga seor...