Part 9. Waiting

43 13 0
                                    

Jika pendengaranku menghilang, pandanganku kabur, kakiku lumpuh, namun hatiku takkan pernah mati.

"Sejauh ini belum ada perkembangan, kemari biar aku pasangkan alat bantu pendengaran. " Dokter Jonas memasangkan alat seperti earphone namun transparan. "Can you hear me? " Tanyanya.

Telinganya sempat berdengung sebelum suara-suara dapat ia dengar kembali.

"Yes I can hear you." Senyum manisnya telah kembali.

Wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya menitikan air mata. Mengelus puncak kepala Sang putra. Memberinya dua jempol tanda bahagia.

"Pesanku kau tak perlu malu, situasi jiwamu juga berperan dalam kembalinya pendengaranmu." Remaja pria itu tersenyum mengerti kemudian bangkit dan merapihkan pakaiannya yang sedikit kusut.

"Terimakasih banyak, kami permisi."

Mereka keluar dari ruang pemeriksaan menuju parkiran untuk kembali ke kediaman. Langkahnya terhenti,  teringat akan sesuatu. Jam tangannya menunjukkan pukul 10:15 siang. 15 menit lalu para karyawan di perusahaan properti terbesar di negeri paman Sam diperbolehkan menikmati jam makan siang.

"Mom,  aku ada janji dengan seseorang, kau pulang duluan, bawa saja mobilnya. "

"Baiklah, biar aku antar. "

"Tidak perlu, aku bisa naik taksi. "

"Tidak! Aku akan mengantarmu."  Bantah Mrs. Will yang sibuk mencari kunci mobil miliknya.

"Ini." Juan mengulurkan kunci mobil yang diberi gantungan berbentuk menara Eiffel yang sedari tadi menggantung di saku ibunya itu. "Lihat, belakangan ini kau kurang istirahat sehingga tidak konsentrasi. Sebaiknya kau pulang ke rumah."

"Okay, jaga dirimu. Kabari aku jika perlu sesuatu."

"Ya." Juan merengkuh wanita itu dengan penuh kasih sayang.

Lima menit dirinya menunggu taksi yang melintas, secara ponselnya rusak sehingga ia tidak bisa memesan taksi online.

" Coffee And Bar Caffe,  sedikit cepat ya, Pak. "

"Baik, Tuan."

Melesat dengan kecepatan 25 km per jam. Membiarkan telinganya beradaptasi dengan alat yang cukup mengganggu.

"Terimakasih."

Seperti biasa tempat ini selalu ramai terutama pada jam istirahat kerja. Ia memilih duduk di dekat jendela di lantai 2 yang menyuguhkan pemandangan indah Brooklyn di siang hari. Keseluruhan dekorasi caffe ini bergaya modern, dengan mengandalkan dinding-dinding kaca guna memaksimalkan pencahayaan matahari dan meminimalisir tagihan listrik.  Dua cangkir cappucino latte menjadi pilihannya. Satu untuknya dan satu untuk lawan bicaranya nanti.

"Lewat 45 menit,  apa ia akan datang? " Pikirannya mengambang. Penasaran dengan hal yang akan mereka bicarakan. Ia sepenuhnya telah melupakan kejadian malam lalu dan mencoba untuk tidak membenci siapapun yang telah menghilangkan pendengarannya.

Terpejam. Menyesap kopi. Merasakan kedamaian. Melihat sekeliling yang menatapnya. Lebih tepatnya menatap alat yang ia kenakan. Sedikit gusar. Namun ia balas dengan sikap acuh tak acuh. Setia menunggu.

TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang