Rindu tak melulu perkara hati dua insan bahkan kaset usang masa kecil pun lebih layak mendapat predikat dirindukan.
Keindahan bunga cherry blossoms di Washington telah usai seiring temperatur tinggi menyelimuti udara kota yang sesak dipenuhi para pelajar dan mahasiswa yang sedang menikmati liburan musim panas. Pantai menjadi destinasi utama peredam rindu akan sempurnanya paparan sinar matahari setelah melewati tiga musim.
Di bibir pantai berdiri sebuah bangunan semi permanen yang menjulang cukup tinggi sebagai menara pengawas. Di sanalah penjaga pantai bertugas. Duduk manis. Menajamkan penglihatan. Sedangkan tak jauh dari sana terdapat gazebo yang disediakan gratis bagi para pengunjung. Ombak yang tenang cocok untuk melakukan segala aktivitas air. Pasir putih lembut begitu ramah menemani jemari kecil yang tengah membangun mahakarya fantasi. Tua dan muda berbaur menikmati masa rehat dari tuntutan hidup di negara maju tersebut.
Urusan perut tentu tak dapat dihiraukan, terdapat jajaran resto yang menyajikan olahan laut. Asap mengepul seiring harum rempah-rempah menyelinap masuk ke indera penciuman mencuri selera makan. Sejak tiga jam lalu seorang wanita paruh baya didampingi seorang pria kecil tengah meracik makanan pesanan pelanggan.
"Aku lelah." pria kecil berambut hitam itu duduk melantai sambil memijat lututnya yang pegal akibat terlalu lama berdiri.
"Makanlah!"
"Tidak!" anak itu menahan tangan sang nenek yang hendak menyuapkan daging lobster bakar saus asam manis. Makanan kesukaannya. "Jika aku memakannya, keuntungan kita berkurang, Nek."
"Tak apa, biar nanti nenek yang bilang pada Mrs. Morris bahwa kita meminta seporsi lobster bakar saus asam manis."
"Tidak, Nek. Ini porsi terakhir yang harus dijual."
Tatapan lugunya membuat sang nenek menghela napas. Pria kecil yang manis. Polos. Perhitungan. Aksi membujuk cucunya terhenti saat bel yang terpasang di atas pintu berdenting. Pertanda pelanggan datang.
"Satu porsi lobster bakar saus asam manis." Pinta pelanggan wanita dengan atasan berwarna merah yang dipadankan dengan rok dan topi berwarna senada, tak lupa kacamata hitam yang semakin menambah anggun penampilannya.
"Maaf sekali, Nona. Kami masih memiliki porsi terakhir namun aku berniat memberikannya pada cucuku." Tatapan sendu sarat terlihat dari caranya menatap anak tersebut yang kini tengah membereskan piring.
"Dia cucumu?" Tanyanya yang dijawab dengan anggukan. "Boleh aku menemuinya?"
"Tentu, mari!"
Kaki jenjangnya memutari meja kasir menuju dapur tempat di mana pria manis itu berada. Senyum simpul terbentuk tanpa kehendak ketika tatapan keduanya bertemu.
"Siapa namamu?" Jean berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan postur anak tersebut.
"Ethan." Jawabnya dengan kepala tertunduk.
Jiwa gadis yang merindukan ibunya memancar begitu tangan mungil memeluknya erat. Mengecup kedua pipinya. Mengelus lembut surai kecokelatan. Menatap dalam kedua manik di hadapannya.
"Ethan, apa yang kau lakukan?" Tubuhnya sedikit terhuyung saat kedua tangannya ditarik. "Maafkan cucuku yang telah lancang." Lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEN
Ficção GeralFakta bahwa cinta tak memandang usia diamini oleh seorang remaja pria bernama Cristopher Juanpa William atau akrab dipanggil Juan. Ia sempat memiliki kelainan yang mungkin dianggap wajar bagi segelintir orang, yaitu penyuka sesama jenis. Hingga seor...