Guzaarish
.
A NaruHina Fanfiction
Disclaimer Masashi Kishimoto
.
Selamat menikmati dan semoga tidak mengecewakan.
.
.
.
This Fan Fiction is dedicated
By: HANASITASHONA
.
Semoga tidak ada pot hole dan semoga tema dengan isi nyambung.
Hihihi~~.
.
.
Kadang, hari-hari memang harus dilalui dalam selingkup awan kelabu dan kedukaan. Seperti hari-hari gadis yang baru saja melakukan negosiasi dengan Ootsutsuki Toneri dari beberapa saat yang lalu. Gadis yang masih 17 tahun itu berani berurusan dengan Toneri yang berusia 35 tahun.
"Kau makhluk lemah dan miskin tapi berani mengacungkan telunjukmu? Bitch, siapa kau memangnya?"
"Hinata," jawabnya tanpa menghiraukan ejekan Toneri tadi. Sebenarnya dia sakit hati.
Toneri menghirup napas dalam, sebal akan jawaban Hinata yang kesannya mempermainkan dirinya. Toneri melirik tajam Hinata yang meremas tangannya. Mungkin ia gugup, atau takut.
"Ya Hinata, bagaimana dengan penawaranku? Menikah atau mati?
Hinata tak menjawab. Ini jelas merugikannya. Ia tak mau menjadi istri seorang penjahat walau tampan. Hinata juga ingat, Toneri-lah penyebab Sakura si gadis kecil usia lima tahun kehilangan nyawanya karena berusaha lari dari kejaran anak buah laki-laki yang ada di hadapannya.
"Aku ini manusia. Meski aku lemah dan miskin seperti katamu, tapi aku manusia. Sementara kau? Siapa? Binatang kotor!"
Toneri tersenyum dengan keberanian Hinata. Ini bukan yang pertama ia menghujat dengan makian "binatang kotor" pada Toneri. Tadi siang Hinata memerintah Toneri untuk tidak lagi menjual-belikan perempuan seusinya dan anak-anak di bawah umur. Bahkan dengan berani ia menunjuk wajah Toneri dan menghinanya seperti tadi.
Perlahan, senyum itu kembali memudar, menapilkan raut wajah yang dingin, sedingin es di kutub. Mata biru milik Toneri memicing tajam.
"Pergilah! Pergi sebelum aku melakukan hal yang merugikanmu. Membunuh dengan menghilangkan jejak mayatmu, misalnya. Pegi!" perintahnya dengan suara rendah tapi mematikan.
Hinata yang ketakutan, langsung pergi keluar dari markas tempat Toneri membawanya. Yukata ungu muda yang ia pakai sudah basah karena keringat yang mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Tak tau harus mengambil jalan yang mana untuk kembali pulang, ia berjalan terus sesuai langkah kakinya.
"Hinata!" seru seseorang dari belakang.
Hinata menoleh, senyumnya mengembang seakan kesedihan dan ketakutannya menguap begitu saja.