- 07 -

1K 115 4
                                    

Jimin berdiri di tepi balkon kamarnya. Ia menghirup udara segar sejenak setelah hampir 4 jam ia membaca buku kedokteran di dalam kamarnya.

Seseorang tiba-tiba memanggilnya. "Jiminnie!"

Ia pun langsung berbalik dan mendapati Arin disana. "Aku tidak sadar kau datang."

Baru saja Jimin berhenti berbicara, ia langsung bergerak dan menangkap tubuh Arin yang hampir terjatuh. Ketika menuju balkon, Arin tersandung pintu yang memang hanya dibuka setengah.

Selama beberapa detik Jimin dan Arin dalam posisi hampir berpelukan dengan kedua mata mereka yang saling bertemu.

"Kau tak apa?" tanya Jimin setelah membantu Arin berdiri dengan baik.

"Ahh iya, setidaknya aku tidak terjatuh dan kau tidak menertawaiku." Gumam Arin.

"Ada apa? Kau tidak seharusnya datang dan masuk ke kamar seorang pria, Arin-ssi." Ledek Jimin.

"Aku hanya datang ingin membawa makanan ringan dan beberapa buku. Ibumu menyuruhku masuk, lagipula sebelum aku ke Jerman kita biasa seperti ini."

"Itu sudah 3 tahun yang lalu." Jimin mendengus. Ia hanya ingin mengingatkan dirinya bahwa mereka semua sudah dewasa. Ia tidak mau diluar kendali dan melakukan hal tidak baik. Terlebih jika itu adalah orang yang ia kagumi.

Arin menunjuk sesuatu di atas nakas. "Makan itu, dan kuharap kau belum memiliki buku yang ku belikan. Aku hanya mampir ke toko buku dan melihat itu, lalu aku tiba-tiba mengingatmu, jadi ku belikan." Jelas Arin panjang lebar.

"Aku mengerti. Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"

"Mmmm aku harus ikut eomma ke acara temannya." Arin menunjukkan raut wajah malas. "Jiminnie, kurung saja aku disini, aku tidak suka menebar senyum dan mengobrol dengan teman-teman eomma. Kurung aku jebal." kata Arin sambil memeluk lengan Jimin.

Jimin menyeringai. "Mengurungmu?"

Sedetik kemudian, Jimin mengalungkan lengannya pada leher Arin dan membawa masuk setelah menutup pintu balkon. Tubuh Jimin yang lebih kuat sudah jelas tidak bisa dilawan Arin. Ketika sudah berada di dalam, Jimin langsung membawa Arin ke sofa panjang yang biasa ia pakai untuk tidur setelah membaca buku.

Sepertinya lengan Jimin yang terlalu kuat membuat Arin terjatuh dalam posisi tidur di atas sofa. Spontan Arin bekata dengan sedikit keras, "Ya! Apha! Apa yang akan kau lakukan?" (sakit) rengeknya.

"Mianhae Arin, aku hanya ingin membuatmu duduk disini. Lagipula kau tadi meminta agar aku mengurungmu, jadi kau juga tidak perlu kemana-mana kan?" ucap Jimin seraya membantu Arin bangun.

"Aku akan menangis terharu jika eomma menyerah membuatku ikut pergi bersamanya." Arin terkekeh. "Sudahlah. Aku harus pulang sekarang. Sampai bertemu lagi."

"Kau naik apa? Perlu ku antar?"

"Aku membawa mobil. Kau perlu tahu, aku sudah bisa menyetir mobil sendiri." ucap Arin menyombongkan dirinya.

"Ahh kalau begitu berhati-hatilah dijalan."

Arin mengangguk sebelum meninggalkan kamar Jimin. Setelah itu keadaan kamar Jimin kembali sepi. Ia pun pergi ke balkon, memandang mobil Arin yang mulai keluar dari area rumahnya.

Aku harap kau tidak akan pernah meninggalkanku. Tetaplah bersamaku.

***

Yoongi tampak lebih bahagia. Ia baru saja menerima panggilan dari Park Changmin yang menjelaskan bahwa perebutan kerjasama dengan lembaga dana pensiun akan dimenangkan oleh Daebuild Company--perusahaan Yoongi.

Sebenarnya Yoongi tidak terlalu mementingkan para investor, tetapi ia ingin membantu para orangtua agar mendapat hasil kerja keras mereka yang layak.

Karena merasa bosan, Yoongi pun mengeluarkan hoverboard-nya. Ia menaiki itu untuk mengelilingi rumahnya. Ketika berada di jalanan yang menghubungkan dengan pintu gerbang, Yoongi melihat seorang gadis yang sudah pasti adalah Yoora.

Dengan segera, Yoongi menuju ke arah Yoora--menjemputnya.

"Kau datang." Sambut Yoongi seraya menekan tombol di ponselnya untuk membuka gerbang.

"Apa yang kau lakukan diluar? Ini sangat dingin. Kau bisa sakit, tuan." kata Yoora yang terlihat sangat khawatir.

"Aku hanya sedang bosan. Lagipula sekarang kau datang, jadi mau bisa buatkan aku makanan agar tubuhku hangat."

"Pakai saja mesin penghangat ruangan." Yoora langsung meninggalkan Yoongi yang masih bersedekap di dekat gerbang.

Melihat Yoora yang semakin menjauh pun Yoongi langsung mengejar dengan hoverboardnya. Setelah menyamakan posisi dengan Yoora, ia pun hendak meletakkan lengannya pada bahu Yoora.

Sepertinya ia sedang sial. Yoora malah menyingkir dan otomatis ia terjatuh. "Ya!" Pekik Yoongi.

Yoora langsung berbalik. "Jika kau tidak bisa memakai ini tidak usah banyak gaya." katanya sambil membantu Yoongi berdiri.

Tetapi sepertinya usaha Yoora sia-sia. Bukannya ia berdiri bersama Yoongi, malah kini kedua tangannya berada pada bahu Yoongi. Sedangkan kedua tangan Yoongi menyangga tubuhnya di lantai.

Yoora langsung bangkit dan meninggalkan Yoongi. Hal itu cukup membuat dirinya malu dan jika itu terulang mungkin ia harus memakai penutup wajah ketika bertemu Yoongi.

Beberapa saat kemudian, Yoongi bangkit dan menaiki hoverboardnya menuju ke dalam rumahnya. Ketika berada di depan tangga, ia pun turun dan membawa hoverboardnya, tidak menaikinya.

"Noona, apa yang kau masak?" Ledek Yoongi yang langsung menuju dapur setelah mengembalikan hoverboard.

"Jangan panggil aku noona. Aku yakin kau lebih tua dariku. Aku baru lulus sekolah tahun ini."

"Aku belum pernah memanggil noona kepada seseorang. Yang pernah kupanggil hanya ahjussi, selain itu aku tidak memiliki noona, hyung, atau dongsaeng." Wajah Yoongi menjadi sendu.

Yoora pun berhenti memasak. "Bagaimana bisa begitu?"

"Karena aku memang tidak pernah bertemu dengan orang lain, selain ahjussi, teman masa kecilku, dan kau."

"Kalau begitu, kau bisa panggil aku sesukamu. Tidak masalah." ucap Yoora diimbuhi senyuman.

"Aku hanya akan memanggilmu Yoora."

"Terserah kau saja tuan Yoongi."

Sebelum meninggalkan dapur, Yoongi berkata, "Panggil saja aku Yoongi, aku ingin memiliki seorang teman baru."

***

vote kalo suka chapter ini^^

phobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang