- 13 -

825 88 1
                                    

Seokjin datang setelah mendapat panggilan dari Park Changmin. Mereka akan membahas mengenai proyek besar di rumah Yoongi.

"Yoora, tolong kau buatkan teh hangat untuk kami." bisik Yoongi kepada Yoora setibanya ia di dapur. Kemudian ia kembali ke ruang kerja yang berada di sebelah kamar Yoongi.

"Jadi berapa luas tanah yang tersedia sekarang?" Yoongi memulai pembicaraan.

"Sekitar 12 hektar. Itu sudah termasuk area untuk taman dan rumah persekutuan untuk beribadah." kata Park Changmin.

"Apa kau sudah mendapat model rumahnya? Setidaknya jangan beri model yang sama pada satu deret. Tidak lucu jika mereka salah memasuki rumah orang lain." Seokjin terkekeh.

Seseorang pun mengetuk pintu. Yoora membawa 3 cangkir teh dan sedikit camilan. Setelah meletakkan di meja, ia keluar dengan menutup pintu secara perlahan.

"Entahlah. Aku berniat meminta bantuan Jungkook, tetapi dia sedang memiliki proyek besar dan harus segera selesai." Yoongi ragu.

"Ya! Jungkook juga memiliki pegawai, kita minta bantuan pegawainya saja." usul Seokjin.

"Andwae. Tetap saja mereka akan melaporkan pekerjaan itu pada Jungkook, dan kau tahu sifatnya, dia pasti akan memaksa mengerjakan itu daripada menugaskan karyawannya."

Seokjin pun mengambil map berwarna putih milik Yoongi. Ia ingin melihat daftar dan data diri keluarga yang akan mendapatkan rumah dana pensiun. Tetapi ia terkejut karena saat ia menggambilnya, beberapa kertas berserakan di meja.

"Jamkkanman. Kau sudah membuat model rumah, mengapa harus bingung mencari lagi?" Seokjin mengernyit.

"Ini hanyalah gambaran yang dibuat anak sekolah dasar. Tidak pantas jika dipakai untuk proyek besar itu."

"Sajangnim, ini adalah gambar yang selalu dibawa Min Jongdae sajangnim dulu, beliau berkata jika gambaran ini sangat ingin beliau jadikan model rumah untuk proyek besar. Saat ini, anda sudah mendapatkan proyek itu dan biarkan keinginan beliau terpenuhi." kata Park Changmin. Memang benar, Jongdae--ayah Yoongi--sangat menyukai hasil karya putranya yang saat itu masih berada di sekolah dasar.

"Yoongi, dangsin-ui appa, berharap hasil karyamu itu bisa terwujud dalam bentuk proyek rumah yang juga diimpikannya. Setidaknya kita pakai itu, dan jika masih kurang kita bisa minta tolong Jungkook. Kau mau kan?"

"Baiklah. Aku akan melakukan apapun yang appa ingin lakukan."

Setelah beberapa saat, Park Changmin pamit harus kembali ke kantor karena ada perusahaan yang ingin bergabung dan menanamkan saham.

"Ah disini masih dingin sekali. Yoongi, bolehkah aku pergi ke dapur dan membuat minum?"

"Biar ku buatkan. Kau mau apa?"

Seokjin berpikir sejenak, "Apakah ada kopi? Aku harus tetap fokus dan tidak boleh mengantuk."

"Baiklah, tunggu sebentar."

Yoongi pun pergi ke dapur dan ia terkejut ketika melihat sebuah sticky note di dekat mesin pembuat kopi.

yoongi, aku ada urusan dan akan kembali sebelum jam makan malam. biji kopi sudah ku haluskan, kau tinggal membuat minumnya. ada beberapa makanan di meja makan jika kau lapar, hanya perlu kau hangatkan sebentar. ahjussi ada di dalam rumah jika kau mencarinya. kau bisa hubungi aku jika keadaan darurat.

-yoora

"Aish jinjja. Hari ini adalah hari tes percobaan terakhirnya, tetapi dia malah membuatku kesal. Ah terserahlah."

Yoongi pun meredam kekesalannya dan kembali membuat kopi.

***

Kedatangan Yoora disambut ramah oleh ibu Jimin. Siang ini Yoora diminta datang oleh Jimin tanpa alasan yang jelas.

"Jimin ada di perpustakaan, kau bisa kesana." kata ibu Jimin.

"Ne ahjumma." Yoora pun segera ke perpustakaan yang berada di lantai 3 rumah Jimin.

Yoora menggeser pintu kaca perlahan. Terlihat jimin sedang sibuk membaca buku--lagi-lagi bidang kedokteran.

"Oh wasseo? Maaf menganggumu bekerja."

"Aniya. Aku sudah membuatkan makan siang untuknya dan tamunya, siapa ya, Seokjin kurasa."

"Seokjin? Ah aku ingin kesana, tetapi pasti mereka sibuk membahas pekerjaan."

"Kau mengenalnya?"

"Tentu. Kami juga berteman baik. Semua teman Yoongi adalah temanku." Jelas Jimin.

Yoora hanya membulatkan mulutnya, tanda mengerti. "Ada apa memintaku kemari?"

Jimin menutup bukunya. Raut wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Begini, ini tentang temanku, dia menyukai seorang gadis yang dulu sangat menyukai sahabatnya. Sekarang gadis itu sudah tidak menyukai sahabatnya, jadi temanku ingin mengungkapkan perasaannya lalu mengajaknya berkencan, menurutmu apa itu hal benar?"

"Itu kisah temanmu atau kisahmu?"

Jimin langsung menyengir. "Kau selalu tahu saat aku berbohong. Baiklah, itu kisahku. Apa yang harus kulakukan?"

"Jika aku diposisi gadis itu, aku akan langsung menolakmu."

"Mworago? Wae? Aku tidak pernah membuatnya marah atau kesal."

"Justru ini membuatnya kesal. Kau tidak pernah menunjukkan bahwa kau menyukainya dan tiba-tiba mengajak kencan. Gadis itu pasti lebih memilih kencan buta." Yoora terkekeh.

"Lalu aku harus bagaimana?" Rengek Jimin.

"Kau harus membuat hatinya luluh, setelah itu kau bisa mengajaknya berkencan. Lakukan hal sederhana tetapi berkesan untuknya. Aku yakin dia akan menerimamu jika suatu saat kau menyatakan perasaanmu."

"Begitu ya? Ngomong-ngomong, kau tidak ingin tahu siapa orang itu?"

Yoora menggeleng pelan. "Aku berusaha menjadi pendengar yang baik dengan tidak menanyakan hal pribadi yang memang tidak diberi tahu. Termasuk identitas orang yang bersangkutan."

"Aigoo uri Yoora neomu kiyowo." Jimin mengacak rambut Yoora.

"Ini adalah salah satu perlakuan yang biasa disukai para gadis, aku melihatnya dalam drama. Tetapi lakukan lebih perlahan atau kau akan membuat rambut gadis itu berantakan." Cibir Yoora. Rambutnya kini berantakan karena ulah Jimin.

Seandainya Yoongi adalah Jimin. Arghh Yoora! Apa yang kau pikirkan?! Gerutu Yoora dalam hati.

***

phobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang