Drunk Call

2.3K 338 48
                                    

Sudah dua minggu semenjak Vita memutuskan untuk mengambil jarak denganku untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Heran. Masa kami harus terancam putus hanya karena kesibukan dan tugasnya yang menumpuk? Kami masih mengirimkan dua-tiga pesan kepada satu sama lain pada beberapa hari pertama. Tapi setelah itu dia menghilang ditelan bumi. Bahkan pesan terakhir yang ku kirim belum juga dibaca olehnya setelah hampir seminggu.

Aku tahu hari ini adalah hari acara kampusnya dilaksanakan. Acara yang telah menyita waktunya untuk mengerjakan proposal, membantu anggota-anggotanya mempersiapkan acara, dan juga bekerja dalam kelompoknya untuk membuat produk yang akan dipamerkan pada acara itu. Jujur saja, aku berharap setelah hari ini juga dia memutuskan untuk kembali kepadaku. Percaya lah, keputusannya untuk menjauh sesaat sangat menyadarkanku kalau hari-hariku tanpa kabar darinya terasa tidak lengkap.

Seusai latihan dengan anak-anak Enamhari sore itu, aku melihat handphoneku mengharapkan sebuah notifikasi darinya. Satu per satu ku baca nama pengirim pesan yang masuk ke handphoneku dan aku hanya bisa menghelakan nafas saat menyadari tidak ada namanya sama sekali. Mungkin masih capek, pikirku.

Aku pun melanjutkan aktivitasku bersama anak-anak Enamhari. Dari yang awalnya di studio, kini kami berada di rumah Sinar membicarakan kelanjutan band ini. Tentu saja rapat dengan topik ini selalu berjalan lama dan melelahkan karena memutar otak.

Setelah topik kami kembali ringan dengan sekedar membicarakan hal-hal yang kami jalani di luar band, usahaku untuk tidak memikirkan Vita kembali gagal saat Warsa dengan entengnya bertanya

"Bri, lagi berantem ya sama Vita?"

Hm, kampret.

"Apaan?" aku tidak menatapnya sambil mengambil sepotong martabak yang berada di tengah-tengah kami.

"Tanda-tandanya iya, nih." Jae mencondongkan tubuhnya. Bersiap untuk mendengarkan masalahku dengannya.

"Ya elah, lagi berantem. Pantesan dari minggu lalu latihan kagak semangat." Sinar bersuara.

"Udah seminggu lebih, dong? Belom baikkan lo?"

"Gue gak berantem, elah."

"Lah, terus?"

"Ya, gak kenapa-napa. Dia bilang butuh waktu sendiri, ya gue kasih."

"Terus masih diem-dieman?"

Aku berdecak, kenapa sih Jae ini kepo banget.

"Dia masih sibuk kayaknya." jawabku sambil sekali lagi melihat notifikasi handphoneku yang masih tidak ada namanya.

"Kayak anak sekolah lo ah berantemnya ngambek-ngambekkan."

"Dibilangin gua gak berantem." jawabku sambil masih menatap handphoneku. Kini sambil meng-scroll home media sosialku.

"Halah sok gak galau. Udah, ikut gue aja abis ini. Mau ke Enigma."

"Ck, gak ah. Gue-"

Kalimatku terputus saat aku melihat update dari Vita di media sosialnya. Sebuah foto dirinya dengan teman-temannya di acara kampusnya hari ini. Dengan seorang laki-laki di sebelahnya yang merangkulnya hampir di semua foto.

"Bri? Napa lo?"

"Jae."

"Napa?"

"Gue ikut." Aku menatap Jae yang kini menatapku kebingungan, "Gue ikut lo ke Enigma."

Maka di sini lah aku saat ini. Kembali ke tempat yang dulu selalu menjadi pelepas penatku. Tentu saja semenjak berpacaran dengan Vita, frekuensiku mendatangi tempat-tempat seperti ini berkurang drastis.

saturdate(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang