Dear future husband
Here's a few things you'll need to know
if you wanna be my one and only all my life
Dear future husband
If you wanna get that special lovin'
Tell me I'm beautiful each and every nightMeghan Trainor - Dear My Future Husband
.
.
Hidup itu seperti bermain ular tangga, tidak tahu di mana langkah kita berhenti. Seperti hidup, di ular tangga kita bisa merencanakan ingin berhenti di kotak mana, bisa juga menerka di mana kita berhenti, tapi tetap saja guliran dadu yang menentukan ke mana kaki kita harus melangkah. Hal ini yang sedang Andara rasakan sekarang. Ia sudah merencanakan hidupnya sedemikian rupa, tapi mau apa, jika Tuhan sudah melukiskan takdirnya.
Pandangan mata Andara tertuju pada kedua orangtuanya yang sedang berbincang dengan Ratna, Ibu Gino di ruang tamu setelah selesai makan malam. Nasib Andara sudah ditentukan malam ini, dengan setujunya Ratna akan pernikahan ini. Dia sudah mengeluarkan argumen terbaiknya untuk membatalkan pernikahan konyol dengan lelaki itu, tapi usahanya sia-sia saat Gino dengan tersenyum menyatakan jika lelaki itu siap menjadi suami Andara.
Halo? Masih bocah ingusan saja gayanya sudah selangit! Apa Gino tidak tahu jika pernikahan itu sakral? Bukan main-main? Dan hanya dilakukan sekali seumur hidup? Jelas lelaki di bawah umur itu tidak tahu apa arti pernikahan sesungguhnya. Apalagi menjadi seorang suami yang akan menjadi imam untuk keluarga.
Ingin rasanya Andara melakukan hal ekstrim seperti melempar piring saat makan malam tadi, kabur dari rumah, atau mengancam bunuh diri. Tapi sayangnya, nyali Andara tidak sebesar itu, ia masih takut dengan kedua orangtuanya. Dan hati kecilnya selalu berbisik, kalau ini membahayakan kamu, nggak mungkin orangtuamu ngotot mau nikahin kamu. Ya sudahlah, Andara hanya bisa pasrah. Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa pada Tuhan, agar Gino benar-benar jadi suami yang tepat untuknya dan bisa jadi imamnya.
***
Mata Gino terfokus pada layar televisi di depannya, sedangkan tangannya sibuk dengan stick playstation. Sesekali suara teriakan lelaki itu terdengar bersahutan dengan Andre yang menjadi lawannya bermain game sepak bola.
"Sial lo Ndre, sini maju gue jabanin," kata Gino kesal saat pemain klub Andre akan melakukan tendangan pinalti.
"Kalau bisa tangkep bolanya, gue traktir es krim Aice," ledek Andre.
"Anjir, Aice mah tiga ribu doang," protes Gino. Wajah lelaki itu terlihat serius, bersiap-siap untuk menangkap bola dari Andre. Erangan kesal lolos darinya saat Andre berhasil menyetak skor. "Sialan lo, beraninya lewat penalti." Andre hanya tertawa menanggapi kekesalan Gino.
Mata Gino melotot saat layar televisi di hadapannya mendadak mati. Kepala lelaki itu mendongak ke atas dan mendapati Andara berdiri sambil memegang remot televisi. Perempuan itu lalu duduk di sofa, di belakang Gino.
"Gino, kita perlu bicara."
"Nanggung banget Andara! Bentar lagi aku ngalahin Andre. Ini masih seri!" kata Gino jengkel.
"Ah, Kak Dara! Ganggu aja sih lo!" Andre ikut mengomel melayangkan tatapan tajam pada perempuan yang duduk manis di sofa tidak memedulikan protes kedua lelaki itu.
"Gino, keburu malem, kita perlu ngobrol," desak wanita itu.
Dengan malas, Gino berdiri dan duduk di sebelah Andara. "Mau ngomongin apa?"
"Andre bisa pergi bentar? Aku mau ngomong sama Gino," pinta Andara pada adiknya. Andre mengangguk sebelum meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamarnya. Perhatian Andara kembali pada Gino yang di sebelahnya. "Gino, kita dua bulan lagi nikah."
Lelaki menghela napas. "Kamu masih belum nerima pernikahan kita?"
Andara menggeleng. "Aku takutnya kamu yang belum bisa menerima pernikahan itu."
Gino mengangkat alisnya tanda tak mengerti. "Aku udah nerima kok sama pernikahan ini."
"Udah nerima segala konsekuensi jangka panjangnya? Kalau nikah itu cuma sekali, harus jaga hati buat istri kamu yang mungkin nanti nggak kelihatan menarik lagi. Dan yang lebih penting, kamu bisa cinta aku? Yang baru kamu temui beberapa hari lalu?"
Gino tahu bagaimana perasaan Andara, perempuan itu pasti merasa khawatir bagaimana nanti kehidupannya setelah menikah. Karena itu juga yang ada di pikiran Gino. Akan tetapi, dirinya dapat menyembunyikan kekhawatiran itu dengan baik.
"Aku bakal berusaha jadi suami yang sesuai sama doa-doa kamu selama ini," jawab Gino. "Jadi, kasih tahu aja gimana suami yang kamu mau."
"Aku sama kok kayak perempuan lain, aku ingin punya suami setia, yang bisa nafkahin lahir batin, yang nggak suka main kasar, yang bisa ngertiin aku, yang bisa nerima aku dan keluargaku, yang bisa bawa aku lebih dekat sama Tuhan, terus yang terpenting bisa buat aku merasa dihargai," ujar Andara lirih.
Gino tersenyum. "Aku yakin nggak akan susah untuk buat kamu merasa dihargai, karena emang kamu pantas buat dihargai Andara. You're worth it."
"Aku akan berusaha jadi istri yang baik buat kamu, kamu tinggal ngomong aja gimana, tegur aku kalau aku salah, tapi jangan bentak aku. Aku nggak suka dibentak." Andara terdiam sejenak. "Aku mau nikahan nanti cuma didatengin keluarga kita, sama temen-temen kita yang nggak di kampus. Aku nggak mau ada orang kampus tahu. Pokoknya simpel."
"Well, aku yakin kamu bisa." Gino mengangguk. "Aku setuju aja sih, terserah kamu. Nanti aku omongin ke mami biar nggak minta macem-macem."
"Ya udah kalau gitu, sampai ketemu dua hari lagi di butik buat cari baju pengantin. Terus, jangan songong di kampus, aku tetep hukum kamu walaupun kamu calon suami aku," kata Andara sebelum berdiri dari duduknya.
"Kalau udah jadi suami? Masa kamu masih tetep galak?" tanya Gino.
"Jadi, kamu ngatain aku galak?" pekik Andara kesal menatap lelaki lebih muda yang akan jadi suaminya dalam dua bulan itu dengan galak.
***
Menjadi suami di usia dua puluh satu tahun tidak pernah terbesit di pikiran Gino sama sekali. Pembicaraannya dengan Andara tadi membuat lelaki itu memikirkan tanggung jawabnya yang semakin besar, tidak hanya menjadi seorang anak lelaki ibunya, tapi juga harus menjadi suami yang bisa menjadi panutan istri dan keluarganya kelak. Apalagi di musim pelakor seperti yang ramai diberitakan di berbagai media. Sebagai lelaki pun, Gino tidak memungkiri jika dirinya takut tergoda dengan perempuan lain nanti, apalagi usianya baru di akhir masa remaja, emosinya masih bisa dibilang labil. Dan jika hal itu terjadi, ia pasti akan merasa jijik dan benci pada dirinya sendiri. Tiba-tiba saja Gino teringat nasihat ayahnya.
"Lelaki itu harus bisa bertanggung jawab, kalau tidak bisa, bukan lelaki namanya. Dan salah satu tanggung jawab lelaki yang terberat itu adalah pernikahan. Karena pernikahan tidak hanya mempertanggung jawabkan cintamu pada istrimu, tapi juga janjimu pada Tuhanmu," ujar Ardi pada putranya kala sore itu di teras rumah. "Apa kamu tidak malu, masih terus meminta pada-Nya saat kesusahan setelah janjimu pada-Nya kamu dustakan?"
Gino membuang napas pelan, andai saja sang ayah masih hidup, ia pasti akan menceritakan unek-unek di kepalanya pada beliau. Tapi, ke mana ia harus bercerita sekarang? Pada kakaknya? Haikal pasti menghukumnya karena sudah bertindak bodoh. Pada Arkan? Aduh, bisa-bisa ia dapat ceramah dari sahabatnya yang sudah jadi menantu Pak Ustadz Shodikin. Lebih-lebih jika ia cerita pada Richard, bukannya dapat pencerahan, lelaki itu pasti akan menertawakannya atau malah bersedia menggantikannya sebagai mempelai pria. Gino tidak rela!
"Alamak, kok ternyata nikah nggak seenteng itu, ya Tuhan .... " gerutu Gino di tengah heningnya malam. "Tapi kalau aku batalin, kapan lagi dapat calon bini kayak Andara. Gusti, aku galau."
TBC
***Do'ain bisa update sering, soalnya aku suka lupa🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Not So Husbandable [REPOST]
General Fiction[KAMPUS SERIES | 1] Bagaimana jika dua orang yang tidak saling kenal harus menikah? Bukan karena perjodohan apalagi tragedi hamil duluan. Ada suatu kejadian menarik, yang membuat mereka 'terpaksa' menikah. Bingung, canggung, jengkel, pokoknya nano-n...