Tujuh

70.9K 5K 39
                                    

Chia Pov

"Ayo berangkat, aku akan mengantarmu ke tempat kerja." Aku mengangguk dan berpamitan pada Tante Dilla.

"Hati-hati di jalan," ujar Tante Dilla.

Risa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan kami sama sekali tidak membahas mengenai Ken. Aku sudah bilang ke Risa kalau aku tidak mau membahas mengenai pria itu lagi. Mendengar namanya saja sudah menghancurkan moodku.

Ketika aku sampai di butikku, aku ragu-ragu untuk turun. Masalahnya ada Ken di depan butikku. Aku mau menyuruh Risa untuk putar balik, sayangnya Ken sudah terlanjur melihat mobil Risa.

"Apa kita pergi saja?" tanya Risa.

"Tidak usah. Aku sudah pergi dari rumahku gara-gara dia. Sekarang aku tidak mungkin bolos kerja cuma gara-gara dia juga. Terimakasih sudah mengantarku. Aku bisa mengatasi Ken kok. Kamu pergi saja."

"Hati-hati dengannya. Jika ada apa-apa hubungi aku. Aku pergi dulu."

Aku mengangguk dan turun dari mobil Risa. Ken langsung menghampiriku begitu mobil Risa sudah bergerak menjauh. Ia membawa sebuket besar bunga mawar putih di tangan kanannya. Aku berjalan melewati Ken, mengabaikannya yang menyodorkan bunga itu padaku.

"Chia, maafkan aku."

Aku kira dia sudah lupa dengan namaku. Ternyata ia masih bisa mengucapkan namaku dengan benar. Ken memegang pundakku, memaksaku untuk berhenti berjalan. Aku mengembuskan napasku kasar sebelum membalikkan badan dan menatap Ken.

"Sugar, aku minta maaf. Aku tidak menyesal telah menciummu, tapi—" Belum sempat Ken menyelesaikan ucapannya, aku sudah memukulnya dengan tas terlebih dulu. Seharusnya aku mengisi tasku dengan batu tadi, supaya setidaknya Ken merasakan sakit lebih dari sekarang.

"Aku berbicara jujur malah dipukul. Mana mungkin aku menyesal menciummu. Bibirmu terlalu manis untuk diabaikan begitu saja." Aku mengayunkan tasku berkali-kali. Ken kurang ajar... aku marah saja dia bisa berbicara seperti ini.

Aku terpaksa menyudahi penyiksaanku pada Ken karena melihat Dian, salah satu karyawan di sini.

"Dian, ini kuncinya. Kamu buka saja butiknya, aku masih ada sedikit urusan."

Aku menyerahkan kunci pada Dian, setelah itu aku kembali menghadapi Ken. Ken tersenyum manis padaku, tapi hal itu tak akan mengubah apapun. Semanis apapun senyum Ken, dia tetaplah lelaki yang membuat darahku mendidih hanya karena beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Ken, aku rasa kita perlu bicara."

"Aku juga ingin menyampaikan sesuatu padamu. Tapi sebelumnya, apa kamu tidak mau menerima bunga ini?" Ken memberikan bunga itu pdaku dengan senyum di wajahnya.

Aku hanya melihat bunga itu tanpa niat untuk mengambilnya dari tangan Ken. Perlahan senyum Ken hilang dan ia membuang bunga itu begitu saja.

"Baiklah, ayo bicara." Entah kenapa aku sedikit ngeri dengan perubahan Ken yang tiba-tiba. Ken yang serius seperti ini mengingatkanku akan Ken yang dengan teganya memutuskanku begitu saja dan meninggalkanku sendirian di sebuah restoran mewah.

Kala itu aku begitu bahagia saat Ken bilang ia akan mengajakku makan malam. Aku tidak menyangka Ken akan membawaku ke sebuah restoran mewah. Aku masih ingat begitu gugupnya aku saat berada di depan restoran itu. Aku tak menyangka jika saat itu aku akan pulang dengan air mata, bukannya senyum bahagia.

Aku berjalan menuju kafe yang berada tak jauh dari sini. Ken mengikutiku tanpa mengatakan apapun. Aku memilih tempat duduk di sudut ruangan. Setelah memesan minuman, aku menatap Ken dengan serius.

"Langsung saja ya, sebenarnya apa alasanmu mendekatiku lagi?" tanyaku.

Ken tak langsung menjawab, ia menatapku beberapa saat.

"Aku masih mencintaimu." Aku tak bisa berkata apapun ketika mendapat jawaban dari Ken. Tidak ada senyum di wajah Ken. Aku menunggunya untuk tertawa, tapi nyatanya raut wajah Ken tetap serius. Matanya sejak tadi pun terfokus pada wajahku.

"Saat itu aku begitu gegabah. Memutuskanmu hanya karena rasa cemburu. Apa kamu ingat kalau beberapa hari sebelum memutuskan hubungan kita, aku pernah bertanya mengenai Adit padamu? Aku melihat kamu terlalu dekat dengannya dan aku tak suka. Kamu bilang kalian hanya teman, tapi aku tak percaya. Aku merasa kamu sudah berselingkuh dariku itulah kenapa aku memutuskanmu dengan cara yang sedikit kejam."

Aku menarik napas panjang. Menahan diriku supaya tidak memaki Ken. Gara-gara dia aku hampir stres memikirkan apa salahku sebenarnya. Kenapa Ken meninggalkanku? Dan sekarang setelah tahu bahwa alasannya adalah hal sepele, aku sungguh menyesali setiap air mata yang pernah aku keluarkan untuk pria ini.

"Jadi hanya karena ketidakpercayaan itu kamu mengakhiri hubungan kita tanpa penjelasan apapun? Konyol sekali..." Aku mendengus. "Sudahlah, tak ada gunanya mengungkit masa lalu. Aku hanya ingin memintamu untuk menjauhiku. Aku sudah memiliki kekasih dan hubungan kita juga sudah berakhir sejak kamu memutuskan untuk mengakhiri semuanya."

Hanya ada keheningan di antara kami setelah aku mengungkapkan keinginanku. Ken tetap menatapku meskipun ada pelayan yang mengantarkan pesanan kami. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya kini, padahal aku begitu penasaran dengan isi kepalanya. Apa dia menerima keputusanku? Apa dia justru akan berbuat nekad lagi?

"Apa kamu benar-benar sudah melupakanku? Apa tak ada sedikitpun perasaan yang tersisa untukku?"

Aku mengepalkan tangaku di bawah meja. Aku membenci diriku sendiri yang tak bisa melupakan Ken dan kenangan manis serta pahit yang ditorehkannya. Jika aku ditanya masihkah ada sedikit perasaan untuknya? Maka tanpa ragu hatiku akan menjawab masih ada tempat untuknya. Sayangnya logika tak mengijinkanku untuk menerima Ken kembali. Aku tak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali.

"Aku sudah melupakanmu dan perasaan yang tersisa untukmu adalah perasaan benci."

"Benarkah? Jika begitu akan kurubah perasaan benci itu menjadi cinta. Jika kamu memintaku untuk menjauh, maaf aku tidak bisa mengabulkannya. Aku sudah melepasmu sekali dan aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Bertahun-tahun aku terlalu pengecut untuk memintamu kembali dan membiarkan diriku tenggelam dalam penyesalan. Sekarang tidak lagi..."

"Ken, aku sudah punya—"

"Kekasih? Aku tahu kamu tidak mencintainya, Sugar. Dia hanya sekedar tempat singgah untukmu." Ken memotong ucapanku.

Aku berdiri setelah meminum minumanku. Risa benar, Ken tak bisa diusir begitu saja. Pria ini terlalu keras kepala.

"Kamu hanya membuang-buang waktu. Aku tidak akan kembali padamu."

"Jangan terlalu yakin, Sugar. Kamu tidak tahu bagimana jalan takdir."

******


Pervert NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang