• 2.0 •

35.6K 4.2K 177
                                    

Hello?— Dirga Argaletta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hello?
— Dirga Argaletta

***

Dirga tidak banyak bicara saat kami mulai memakan hidangan yang dia pesan. Aku hanya memakan kentang goreng saja, masih kenyang karena sebelumnya aku sudah menghabiskan bekal makan siang yang tak sempat aku makan ketika jam istirahat.

Awalnya aku sempat bingung mengapa Dirga bungkam hampir sepanjang waktu, hingga aku menyadari bahwa dia menghormatiku.

Jika dia mengajakku mengobrol, maka aku harus menggerakkan kedua tangan atau menulis sesuatu, yang tentu akan membuatku repot dan lama dalam menghabiskan makananku.

Ternyata, dia berpikir cukup jauh dalam hal ini. Dan aku terkesan.

Dirga sendiri memakan mi miliknya dengan tenang. Begitu aku mendongak dan menatapnya, dia juga menatapku. Hal itu seperti beberapa kali terjadi dengan durasi lebih dari dua detik.

Jika kami saling menatap... dia tersenyum. Sungguh, senyumnya tidak begitu baik untuk kesehatan jantungku.

Setelah aku selesai makan, aku menuliskan sesuatu di notes dan menunjukkannya kepada Dirga.

Terima kasih.

Dirga menggeleng, menyesap jus jeruknya dan mengusap tengkuknya. "Gue yang seharusnya berterima kasih, Damalara. Atau Lara aja, ya? Damalara kayaknya kepanjangan."

Dirga terkekeh karena ucapannya sendiri. "Kalo nggak ada lo, gue pasti akan ribet ngurus surat-surat yang hilang dan lain-lain. Kayak KTP atau SIM."

SIM? Lalu, mengapa Dirga malah naik angkutan umum kalau dia mempunyai kendaraan sendiri?

Mungkin rusak, pikirku.

Sejenak aku teringat soal kebingunganku tentang SIM dan KK. Surat Izin Mengemudi tetapi bentuknya kartu, Kartu Keluarga tetapi berupa lembaran kertas.

"Lo masih SMA, ya? Kalo gue, sih, udah tua. Udah lama lulus kuliah. Tapi jangan panggil Kak, nanti kerasa banget tuanya."

Bagiku, ucapan Dirga itu lucu. Alhasil aku terkekeh dan mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Dirga.

"Tenang, gue bukan Om-Om mesum, kok. Gue masih 23 tahun. Coba gue tebak, lo antara 16 atau 17 tahun."

Aku menulis angka satu dan tujuh di notes, Dirga segera menyunggingkan senyum kembali.

"Salah satu tebakan gue bener. Waktu kecil, gue emang sempet punya cita-cita jadi peramal. Oke, gue tahu itu absurd."

Aku mengernyit, membayangkan Dirga memutar-mutar tangan di atas bola ramal.

Aneh.

Ada yang aku syukuri pada saat itu. Maksudku, Dirga jelas berbeda seratus delapan puluh derajat denganku.

Dia cakap dalam berbicara, suatu ketidakmungkinan yang sebenarnya paling aku inginkan.

Aku ingat dia terus berbicara mengenai beberapa hal, dan harus diakui bahwa Dirga pintar mencari topik pembicaraan yang tidak membosankan.

Responku hanya tersenyum, mengangguk, atau sesekali menulis sebuah kalimat singkat.

Yang paling aku kagumi dari Dirga adalah, dia tak pernah memandangku aneh, seperti yang dilakukan mayoritas orang terhadapku.

Dia memandangku seolah tidak ada perbedaan mencolok di antara kami.

"Kayaknya udah sore, ya." Dirga melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sorry karena nyita waktu lo. Mau gue anter pulang?"

Antar? Apa dia tidak akan lelah jika harus bolak-balik naik angkutan umum?

"Gue anterin lo pake mobil, tenang aja."

Eh? Mobil?

Dirga sepertinya melihat kebingungan nyata dalam ekspresi wajahku.

"Mobil gue ada di parkiran, dan kalo lo bingung kenapa gue naik angkutan umum, gue abis pergi ke suatu tempat dan males macet-macetan. You know, problem klasik ibu kota."

Dirga melambaikan tangan ke arah pelayan. "Jadi, lo mau 'kan kalo gue anter?"

Menurutku, tidak ada salahnya menolak. Dirga tidak terlihat seperti penculik perempuan, dia juga tidak terlihat seperti penjahat lainnya. Aku mengangguk dan mengerutkan kening kala mendengar si pelayan mengenali Dirga.

"Kenapa, Pak Dirga?"

"Bukannya gue udah bilang jangan panggil Pak?"

Dirga melipat tangan di dada, bibirnya mengerucut. "Gue makan dan bayarnya nanti aja, ya, gue ada kepentingan sebentar."

Si pelayan tampak bingung, aku merasakan hal yang serupa.
"Loh? Kok Pa- maksudnya Mas Dirga kok bayar?"

"Nggak papa, pengen aja." Dirga berdiri, dia membenarkan letak kacamatanya. "Lara, ayo."

Aku ikut berdiri, mengikuti langkahnya dan meninggalkan si pelayan yang masih terdiam di tempat.

Seolah mengetahui isi pikiranku, Dirga berkata, "Kafe tadi punya gue," ungkapnya.

Aku hanya mengangguk-ngangguk mengerti.

Wait...

WHAT?

***

Kalau misal cerita ini diterbitkan lagi setelah direvisi? Ada yang tertarik?

Lara (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang