Aku dan kamu menjadi kita, sebuah kombinasi yang sempurna. Tanpa dia ataupun mereka.
***
Aku tidak terlalu suka menonton sebuah film, terutama di bioskop seperti ini. Layar besar dan suara kencang membuatku seolah menyusut, duduk di kursi penonton dengan mata menunduk, lalu menaikkan ritsleting jaket yang kupakai. Padahal, aku tidak merasa kedinginan.
Film yang kami tonton bergenre horor. Jelas, membuatku semakin tak tertarik untuk menonton. Bagiku, hantu itu tidak menyeramkan. Manusia justru lebih menakutkan, meski mereka sering dikatakan makhluk sempurna. Manusia berkata semau mereka. Tanpa memikirkan perasaan orang lain, tanpa memikirkan apa akibat yang diucapkan oleh mereka.
Omong-omong soal nonton, aku mengiyakan karena merasa tidak enak dengan Dirga. Dia telah mengajakku ke sini dan rasanya tidak sopan jika aku menolak. Apalagi, binar mata Dirga yang kusukai itu membuatku setuju- setuju saja.
Tunggu. Yang kusukai?
"Lara." Aku menoleh saat Dirga memanggilku, setengah berbisik. "Lo nggak suka, ya?"
Aku menggeleng, berbohong demi menjaga perasaannya.
"Filmnya serem nggak?"
Lagi-lagi aku menggeleng. Jangankan menilai hantunya menakutkan atau tidak, melihatnya saja tidak. Aku terlalu fokus pada pikiranku.
"O-oh, oke." Aku sempat bingung mendengar nada seperti kecewa di suara Dirga, walau akhirnya tidak memikirkan lebih lanjut begitu senyum cerah Dirga terbit. "Terus genre film apa yang lo suka?"
Mungkin, memang lebih baik jujur.
Aku mengambil ponsel, membuka aplikasi Notes di sana, lalu mengetik sesuatu.
"Salah langkah gue," celetuk Dirga cepat setelah membaca apa yang tertulis di ponselku, seolah refleks. Dia tiba-tiba menepuk dahi dan meringis. "Seharusnya lo bilang kalo nggak suka nonton."
Aku mengetik lagi.
Nggak papa, udah terlanjur.
Dirga mengangguk. Dia menunduk dan memperhatikan sesuatu yang ada di tanganku. "Loh? Cokelatnya nggak diminum? Nggak enak?"
Entah itu refleks atau apa, aku segera meminum cokelat itu dan menampakkan senyum tipis, berharap Dirga tidak tersinggung dengan tindakanku.
"Eh, punya gue abis dan gue haus. Kalau gue minta boleh, ya?"
Tanpa menunggu persetujuanku, Dirga menarik tanganku yang menggenggam cup minuman cokelat dan meminumnya. Tegak kembali setelah selesai, Dirga menonton kembali.
Terus terang, aku terkejut dengan tingkah Dirga itu. Dia minum dengan sedotan yang sama denganku.
Kala aku menoleh dan memperhatikan raut wajah Dirga dengan saksama, dia tampak senang dengan kedua sudut bibir yang terangkat naik.
Dan aku, tidak bisa mengartikan apa maksud dari senyumnya itu.
***
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Kak Rita sukses membuatku membelalak sempurna. Bagaimana tidak? aku baru saja pulang setelah menonton film dan makan di sebuah food court dengan Dirga.
"Pacar?"
Tidak mengherankan sebenarnya jika Kak Rita, kakak kandungku, bertanya seperti tadi. Dirga sempat melambaikan tangan dengan ekspresi riang seperti anak kecil sebelum pergi. Dan aku, membalas lambaian tangannya dengan kikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara (SELESAI)
Short Story(SUDAH SELESAI DAN MASIH TERSEDIA SECARA LENGKAP) LARA DAN SEMESTANYA YANG KEHILANGAN RASA Kisah-kasih itu bukan soal indera yang sempurna, tetapi tentang rasa dan jiwa yang saling mencinta. Dirga siap untuk berbicara untuk Lara, mendengar untuknya...