Kamu suka apa? Suka Dirga juga nggak?
— Dirga Argaletta***
Dirga memutar musik yang kini sedang populer di mobil. Untuk mencairkan suasana, tentu.
Aku sendiri lebih menyukai musik yang tenang, terutama yang diiringi piano atau gitar akustik. Aku juga tidak suka musik rapp.
Yah, lagipula apa bedanya? Toh mau bagaimanapun lagu itu terdengar, aku tidak dapat menyanyikannya. Aku hanya bisa berekspresi lewat alat musik saja.
"Setiap hari lo naik angkutan umum?" tanya Dirga bersamaan dengan lampu lalu lintas yang berubah merah.
Aku sempat melihat pengendara motor yang memakai helm warna merah muda sebelum menoleh dan mengangguk.
"Nggak dianterin bokap gitu?"
Aku menggeleng dan tersenyum pahit. Lagipula, mana mau ayahku mengantarkanku sekolah.
Prioritasnya bukanlah aku, dan aku sadar pada posisiku. Mungkin, meluangkan waktu untukku adalah hal yang sia-sia baginya.
Setelah aku menggeleng tadi, ada yang menarik perhatianku tentang ekspresi Dirga. Saat itu, aku sudah menyadari bahwa itu adalah tanda-tanda bahwa dia gugup dan ragu untuk mengucapkan sesuatu.
"Lo sekolah di mana emangnya?"
Aku mengambil notes, menuliskan sesuatu di sana. SMA Twidara.
"SMA?"
Aku sudah tahu pasti reaksi Dirga akan seperti itu, seperti kebanyakan orang. Mereka mungkin berpikir aku tidak akan bisa sekolah di lembaga pendidikan formal, apalagi negeri.
Namun, aku bisa masuk ke sana setelah berjuangan mati-matian dalam hal akademik.
Yah, meski aku sempat ditolak di beberapa sekolah. Itu tidak menyurutkan niatku, sebab menyerah juga tidak akan menghasilkan apa-apa.
"Sorry, mungkin respon gue terdengar nggak enak buat lo," ucap Dirga, permintaan maafnya terdengar tulus.
"Sekolah itu deket dari kafe gue, kalo misal gue jemput lo buat pulang nggak papa, kan?"
Saat itulah pertama kalinya aku merasa takut dengan Dirga.
Bagaimana tidak, kami baru saja saling mengenal dan dia tiba-tiba menawariku sesuatu yang terdengar tidak umum untuk dua orang yang baru berkenalan kurang dari dua jam.
"Gue punya sepupu di sekolah lo, jadi siapa tau lo juga mau ikut kalo gue jemput dia."
Aku yang masih menyipit curiga membuatnya tergelak. "It's ok kalo lo nggak mau. Cuma, for your information, sepupu gue namanya Dita."
Dirga melajukan mobilnya kembali karena lampu lintas berubah menjadi hijau. "Lo kenal dia?"
Aku masih berpikir soal Dirga yang mengada-ngada tentang apa yang dikatakannya. Tetapi, soal seseorang yang Dirga bilang sebagai sepupunya, membuat keraguanku sedikit demi sedikit terkikis.
Siapa yang tidak mengenal Dita di sekolahku? Tidak ada. Dita adalah golongan siswi populer karena fisik dan sifat ramahnya. Kalau dibandingkan dengan Dirga... cukup sesuai.
Jujur, aku memang menyukai Dirga dalam konteks bahwa dia baik, bukan dalam perasaan suka antara lawan jenis. Yang justru aku sadari akhirnya perasaan itu berubah menjadi lebih kuat, tak bisa kusangkal lagi.
"Nomor... dua puluh tiga. Kita udah sampe."
Aku tersentak begitu Dirga menyebut nomor rumahku. Oke, ternyata sejak tadi aku melamun.
Mulutku mengucapkan kata terima kasih tanpa suara, dia mengernyit dan terkekeh. "Lo nggak ada niatan ngajak gue ke dalem gitu?"
"Bercanda. Bye, Lara."
Saat mobilnya melesat pergi, aku refleks melambaikan tangan. Eh? Ada apa dengan diriku.
Saat aku membuka pintu rumah, aku menyadari bahwa ada satu hal yang terlupakan. Soal pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Dirga.
Bagaimana dia bisa bahasa isyarat?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara (SELESAI)
Short Story(SUDAH SELESAI DAN MASIH TERSEDIA SECARA LENGKAP) LARA DAN SEMESTANYA YANG KEHILANGAN RASA Kisah-kasih itu bukan soal indera yang sempurna, tetapi tentang rasa dan jiwa yang saling mencinta. Dirga siap untuk berbicara untuk Lara, mendengar untuknya...