• 7.0 •

19.1K 2.7K 52
                                    


Tak apa, jalani saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak apa, jalani saja. Siapa tahu kita sama-sama jatuh cinta.

***

Aku masih menebak-nebak soal ke mana Dirga akan membawaku, bahkan ketika mobilnya berhenti di sebuah tempat. Apakah itu kafe? Atau rumahnya?

Bangunan itu terkesan kuno jika dilihat dari luar, tetapi entah bagaimana di dalamnya.

Binar sang surya mengintip malu-malu dari atapnya yang tinggi. Angin yang berembus terasa lembut di pipi, hingga harum tak asing terasa begitu menenangkan hati.

Bunga? tebakku. Aromanya seperti bunga, mungkin berbagai macam bunga.

Aku cepat-cepat menulis sesuatu di notes, menulis pertanyaanku.

Ini tempat apa?

Dirga melirik arlojinya sebentar. "Kamu nanti tau kok kalau udah masuk ke dalam. Ayo."

Ternyata tempat itu adalah sebuah taman bunga pribadi. Semua tanaman dirawat dengan baik, dan aku tidak bisa tidak berdecak kagum karenanya. Ada bunga mawar dengan berbagai warna, ada pula anggrek yang begitu indah berjajar di sisi kanan sana.

Ada yang unik di taman bunga ini, setidaknya menurutku. Terdapat bagian kosong yang luas beralaskan rumput—yang pasti dipotong dengan alat setiap harinya hingga rapi begini—lalu ada dua kursi dan sebuah meja yang saling berhadapan.

Dirga mengajakku duduk di kursi putih tadi, dan anehnya di meja telah tersedia hidangan untuk kami, seolah sudah disiapkan sebelumnya.

Melihatku yang masih bingung dan bertanya-tanya, Dirga pun membuka mulutnya untuk menjelaskan. "Ini taman bunga pribadi punya Nyokap, gue pinjem sebentar. Di sini sering dijadiin tempat acara gitu, apalagi kalau misalnya keluarga gue ada yang nikah terus konsepnya garden party."

Aku mengedarkan pandangan, masih terkagum- kagum dengan tempat ini. Sementara Dirga sudah memakan makanannya yang lagi-lagi berupa mi. Aku malah menulis sesuatu karena masih ada yang terasa mengganjal bagiku.

Kok makanannya udah siap gini?

Dirga berdeham. "Taman ini ada di tengah-tengah bangunan. Ada beberapa ruangan di sini, salah satunya dapur. Petugas jaga di sini yang nyiapin semuanya."

Aku mengangguk-angguk, lalu meminum air putih karena tenggorokanku terasa kering.

"Lara."

Aku mendongak saat Dirga memanggil namaku. Hanya kedua alisku yang terangkat sebagai respons.

"Nanti aja deh kalau udah selesai makan."

Aku tertegun. Ingin tertawa, namun aku menahannya.

Usai kami menghabiskan makanan masing-masing, entah kenapa Dirga tampak gelisah. Mata cokelatnya bergerak-gerak, membuatku yang ingin memperhatikan irisnya menjadi pusing.

Aku ingin bertanya kenapa, tetapi tak mampu.

"Mmm... Lara."

Aku mengangguk. Entah dorongan dari mana, aku tersenyum dan menepuk kedua tangannya yang berada di atas meja, memberinya kekuatan agar bisa berbicara lebih jelas.

Seolah apa yang kulakukan itu berhasil, Dirga tiba-tiba berbicara dalam tempo yang cepat. "Lara, aku nggak tau kapan aku punya rasa khusus untukmu. Jauh... jauh sebelum kita ketemu di angkutan umum, jauh sebelum kamu ngembaliin dompet aku yang jatuh di angkutan umum. Aku suka kamu, Lara. Lebih dari sekadar suka, lebih dari sekadar kagum. Aku suka kamu murni perasaan sayang antara cowok ke cewek. Sesederhana itu, tapi susah mengungkapkannya."

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa setelah Dirga berucap panjang lebar begitu. Aku syok, tentu saja.

Bagaimana dia bisa suka kepada orang sepertiku? Aku tidak sempurna. Aku tidak pantas untuk Dirga, dia terlalu segalanya untukku.

"Oke, aku tau kamu pasti terkejut. Memang terlalu tiba-tiba, tapi aku nggak bohong. Aku jujur, Lara."

Nada bicaranya terdengar meyakinkan, hanya saja seluruh tubuhku belum dapat mencerna perkataannya yang terdengar tidak masuk akal. Kalau bisa, aku sungguh ingin berseru keras-keras, mempertanyakan sesuatu yang mengganjal di kepalaku.

Apa Dirga bercanda? Tetapi ini tidak lucu.
Apa Dirga sakit? Tidak, dia tampaknya sehat.
Apa dia sedang berlatih mengungkapkan perasaannya?

Itulah kemungkinan terbaik yang bisa kupikirkan.

Aku cepat-cepat menggerakkan tangan dan jariku. Dengan bantuan bolpoin, aku menulis pertanyaanku.

Kamu lagi latihan nembak cewek, ya?

Dirga buru-buru menggeleng. Dia mencengkeram rambutnya sendiri. Kelakuannya semakin membuatku bingung.

Dirga menggigit bibir bawahnya. "Lara, kamu belum pernah ditembak cowok, ya?"

Aku mengangguk, sebab pertanyaan Dirga benar adanya. Setelah itu, dia malah meringis.

Loh? Di mana letak kesalahanku?

"Lara, aku jujur. Aku suka sama kamu. Aku-suka-sama- kamu," kata Dirga menegaskan kata-katanya. Aku masih terdiam.

Kalau kalian tanya bagaimana perasaanku, aku benar- benar tidak tahu. Dengan Dirga, aku merasa nyaman, aku merasa aman, dan aku bisa tersenyum dengan alasan yang jelas, sikapnya. Dengannya, jantungku berdebar lebih keras daripada biasanya. Apa arti dari semua perasaanku itu?

"Gini deh." Dirga menghela napasnya. "Aku harus gimana biar kamu percaya kalo aku suka sama kamu?"

Aku tidak tahu.

"Apa aku harus nyatain perasaan aku di depan banyak orang?"

Aku menggeleng.

"Kamu mau aku nyatain perasaan pake bunga? Boleh, aku petik semua bunga di sini."

Aku menggeleng lagi. Yang benar saja?

"Terus aku harus gimana, Damalara?"

Melihat bagaimana dia frustrasi yang justru membuatnya terlihat begitu lucu dengan bibir mengerucut dan kening mengerut, aku tersenyum. Mungkin, Dirga menganggap senyumku adalah sesuatu yang lain, sehingga matanya langsung membulat.

"Gimana? Kamu mau jadi pacar aku?"

Apalagi ini...?

Senyumku langsung hilang seketika. Tadi dia mengatakan dia menyukaiku, itu amat sangat mengejutkan. Dan sekarang, dia memintaku untuk menjadi pacarnya.

Ya Tuhan, aku salah apa? Aku tadi berdoa sebelum makan kok. Bukan maksudku perkataan Dirga itu mengganggu, hanya saja semuanya terasa terlalu mendadak, dan aku belum siap.

"Loh kok nggak senyum lagi? Lara nggak mau jadi pacar Dirga, ya?" Dirga menunjukkan puppy eyes-nya.

Kadang-kadang aku merasa kalau Dirga itu seperti anak-anak....

Aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan kepada Dirga. Bagiku, status pacaran itu hal yang terasa asing. Jangankan soal itu, soal perasaan saja aku tidak begitu tahu.

Aku tidak pernah memahami rasa yang diungkapkan Dirga kepadaku, sebab seumur hidup aku hanya mengenal kasih sayang dalam keluarga. Hanya itu.

Dirga tiba-tiba menggenggam kedua tanganku yang berada di atas meja. "Oke deh. Mungkin kamu bingung soal ini."

Memang.

"Tapi perasaanku tulus sama kamu, dan sekarang kamu terima aja. Soal kamu suka atau nggak, bisa dipikirkan nanti, yang penting jalanin aja dulu. Aku akan berusaha meyakinkan kamu. Oke?"

Dan aku sepertinya tidak punya pilihan lain selain mengangguk.

Dirga langsung heboh. Dia tersenyum sangat lebar, apa dia tidak pegal menarik sudut bibirnya tinggi-tinggi seperti itu? Dia juga bertepuk tangan. Kemudian ketika tangannya hendak menggenggam tanganku lagi, Dirga menyenggol gelas hingga airnya tumpah dan benda kaca itu berakhir jatuh, lalu pecah.

"Waduh." Dirga bergumam refleks. Dia lalu cengar- cengir.

Oke, Dirga salah tingkah, dan aku sangat menyukai tingkahnya itu

***

Lara (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang