• 12.0 •

14K 2K 74
                                    

Aku adalah penikmat rindu.

***

Aku terlanjur berjanji untuk menjemput Dirga keesokan harinya setelah kejadian di mana Dita memberitahuku soal penyakit Dirga yang sebenarnya.

Sebelum kemarin, pengetahuanku tentang penyakit yang diderita Dirga sangat terbatas, namun aku tahu itu sesuatu yang berbahaya.

Kemarin, aku keluar dari ruangan Dirga begitu saja, tanpa menunjukkan reaksi apa-apa. Atau mungkin, ekspresi di wajahku sudah banyak bicara.

Malamnya, aku mencari tahu apa itu talasemia di internet. Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang diakibatkan faktor genetika. Menyebabkan protein di dalam sel darah merah tidak berfungsi secara normal. Kadar hemoglobin yang berfungsi mengantarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh pun terbilang rendah. Alhasil, si penderita akan mudah lelah hingga sesak napas.

Selama mengenal Dirga dalam jangka waktu yang singkat, aku tidak pernah menyangka kalau Dirga menyembunyikan penyakit seserius itu di balik sikap ceria dan senyum cerahnya. Memang, seharusnya aku tidak percaya jika Dirga mengatakan dia baik-baik saja dan menampakkan senyuman—senyum yang menutupi dukanya.

"Hai, Lara." Dirga menyapaku, dan aku tidak siap sama sekali. Jadilah responsku hanya sebatas senyuman kaku yang dipaksakan. Aku berdiri di dekat pintu, sikapku rikuh. Dirga sendiri baru turun dari tempat tidur rumah sakit dengan pakaian yang sudah berbeda.

"Kalau belum sehat benar, lebih baik kamu istirahat saja, Dirga."

Aku menoleh cepat karena terkejut dan mendapati seorang dokter wanita yang terlihat sudah senior di sebelahku. Dia menoleh dan tersenyum. "Selamat sore, Lara."

Eh? Bagaimana dia bisa tahu namaku?

"Dirga sering cerita soal kamu. Oh, ya, nama Tante Kamilia." Aku segera menyambut jabat tangan Tante Kamilia. Tersenyum meski tidak sekaku tadi.

"Sepertinya saya nggak usah nganter Dirga pulang, ada kamu di sini. Dirga, jangan terlalu capek, dan jangan bolos transfusi darah lagi. Ngerasain kan, kamu jadi sakit begini?" Tante Kamilia mengembuskan napas perlahan, dia lalu menatapku. "Nah, Lara, kamu temenin dia ke rumah, ya. Sudah ada sopir yang Tante suruh jemput kok." Tante Kamilia melirik jam tangannya. "Sayangnya, Tante masih ada pasien. Lara, senang ketemu sama kamu."

Tante Kamilia tersenyum padaku, lalu berlalu usai melayangkan sorot peringatan ke arah Dirga.

Dirga berjalan ke arahku, wajahnya masih pucat walau tidak separah kemarin. Dia menggaruk kepalanya. "Kayak kata Mama aku tadi, kita dijemput sama sopir. Soal kemarin, aku minta maaf udah bohongin kamu. Aku nggak bermaksud apa-apa."

Aku masih diam, bahkan kala Dirga menggenggam tanganku dan berjalan keluar dari ruangan, lalu melangkah menuju lift untuk turun dan segera pulang. "Kamu mungkin kecewa, tapi aku lebih khawatir soal kamu dibanding kondisi kesehatanku sendiri. Tau kenapa?"

Lara (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang