• 13.0 •

14K 2K 70
                                    

Harapanku adalah kamu. Sebab kamu adalah bentuk dari segala yang kuinginkan, sebab kamu adalah ciptaan Tuhan yang selalu kusebut dalam doa yang selalu aku semogakan.

***

Kata Dirga, dia biasa menulis harapan dengan dua cara. Yang pertama, dengan menulis harapan itu pada sebuah kertas yang nanti dililitkan pada tali balon dan dia terbangkan. Sedangkan yang kedua, cukup mirip dengan yang pertama. Tetapi bedanya, kertas yang bertuliskan harapan itu dimasukkan ke dalam sebuah pot yang nantinya diisi dengan tanaman bunga.

Siang ini kami sedang mencoba cara pertama. Untuk yang kedua mungkin sore nanti, sebab Dirga mengatakan akan bagus jika melihat balon warna-warni di langit yang cerah seperti sekarang.

Kata orang, akhir pekan akan menyenangkan jika kita pergunakan untuk menikmati waktu dengan orang yang kita cintai. Menurutku, hal itu benar adanya. Meskipun hampir tengah hari, nyatanya terik matahari tidak begitu menyengat bagiku. Sebenarnya aku cukup heran karena biasanya Jakarta seringkali panas sampai terasa menggigiti kulitku, mungkin efek hari yang berawan.

"Kamu udah nulisnya?" tanya Dirga. Dia sedikit bergeser kepadaku, dan aku melayangkan tatapan ngeri padanya. Kami sedang tidak duduk di balkon rumahnya, atau ayunan, atau tempat lazim lainnya. Dirga mengajakku pergi jalan-jalan dengan sebuah VW Combi yang telah dimodifikasi sedemikian rupa interior di dalamnya, sehingga lebih modern dan multifungsi.

Kami datang ke sebuah tempat wisata, yakni Taman Mangrove. Menikmati panorama yang ada, tanpa kamera sesuai dengan peraturan yang ada. Hanya menikmati waktu berdua.

Dirga mengatakan kami harus tenang saat melakukan kegiatan aneh yang sering dilakukan olehnya ini. Dan kurasa, tempat ini adalah tempat yang tepat. Suasananya begitu asri, alami, udaranya segar dan juga terasa sunyi.

Di atas jembatan dan di bawah langit luas yang terbentang dengan jarak yang tak dapat kuduga, kami mulai melakukan apa yang direncanakan Dirga ini. Ditemani alam, kami mulai berseru lewat tulisan dari isi hati yang paling dalam.

Aku menggulung kertas berisi harapanku dan mengangguk-angguk, mulai mengikuti apa yang Dirga lakukan. Balon miliknya warna merah, dan punyaku warna kuning. Tidak ada alasan khusus dalam pemilihan warna ini, hanya saja suasananya terasa cerah dan menyenangkan.

"Nah, kalau udah diikat ke tali balon... kita lepas dan say bye." Dirga menoleh padaku dan memamerkan senyumnya yang memesona. "Kamu siap?"

Oh, ya, aku siap. Bukankah ini hanya melepaskan balon dan membiarkannya naik dan terbang terbawa angin?

"Kalau boleh tau, apa harapan kamu?"

Aku mengerucutkan bibirku, menggerakkan mulut dan berkata tanpa suara. Rahasia.

Dirga mengangkat bahunya. "Ya udah, aku bisa tebak harapan kamu apa, kok." Dirga sejenak menjeda ucapannya, mengembuskan napas perlahan dan sedikit mendongak membiarkan sinar matahari semakin leluasa menyentuh bagian wajahnya. "Kamu berharap soal kita, kan?"

Tebakan Dirga tidak sepenuhnya benar. Aku memang berharap soal hubunganku dengannya, berharap bahwa Tuhan memberiku banyak kesempatan untuk menikmati waktu lebih banyak dengan Dirga. Tetapi selain itu, aku mengharapkan sesuatu yang sebenarnya terlalu mustahil, tak akan pernah bisa kudapatkan—membalas ucapan Dirga dengan suaraku.

Lara (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang