• 4.0 •

21.2K 3.2K 86
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aku masih mengira bahwa Dirga itu berbohong soal dia yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Dita.

Aku memang kagum padanya, tetapi tidak
berarti aku akan memercayai setiap ucapannya mentah- mentah.

Dirga tetap orang asing dalam hidupku. Setidaknya awalnya, aku tidak bisa meramal tentang dia yang nantinya akan begitu berarti bagiku.

Omong-omong tentang meramal, aku jadi ingat Dirga yang berkeinginan menjadi peramal.

Aku mendesah sembari menempelkan pipiku di meja, mengapa lagi-lagi Dirga yang memenuhi kepalaku?

Bel tanda pulang sekolah yang tiba-tiba berbunyi membuatku duduk tegak kembali. Bu Elga, pengajar mata pelajaran biologi, sempat menatapku. Namun, tidak lama karena Gandi si ketua kelas langsung memimpin doa.

Seperti biasa, aku berjalan paling terakhir, menunggu yang lain keluar dari kelas. Tetapi, dua siswi teman sekelasku tampaknya masih asyik di mejanya, entah membicarakan apa. Alhasil aku berdiri dan melangkah menuju pintu.

Aku memang tidak mempunyai teman yang begitu dekat di sekolah. Kebanyakan hanya bersikap biasa saja, walau banyak juga yang cenderung mengejek dan merendahkanku.

Hal itu terjadi ketika aku baru saja mencapai pintu dan dua siswi tadi berseru tidak sabar di belakangku.

"Ish! Buruan dong! Lama amat, nggak denger tadi gue minta lo minggir?"

"Nggak denger lah, Sel. Dia, kan...." Siswi yang berambut sebahu itu menggantung kalimatnya, membuatku melangkah menjauh dan menunduk dalam- dalam.

Sejurus kemudian, ucapan yang terdengar membuatku kembali mendongak dan mengernyit heran.

"Kalian ini udah sekolah lebih dari sepuluh tahun, tapi nggak bisa sopan ke orang lain."

Dua siswi itu melongo, lalu saling menatap satu sama lain. "Kita nggak ada maksud nggak sopan, Dit. Dianya aja yang lamban."

Memang benar, itu Dita. Yang membuatku bingung adalah, mengapa Dita repot-repot berjalan ke koridor anak IPA? Bukankah gedung jurusan IPS ada di seberang lapangan basket?

"Tetep aja itu nggak sopan, kalian kan bisa minta baik-baik, atau seenggaknya bilang permisi gitu."

Aku hanya bisa memperhatikan kepergian dua siswi yang mengiyakan, meskipun akhirnya bergumam tidak jelas. Mungkin mereka terkejut dan tidak terima dengan apa yang diucapkan Dita.

Kala aku bingung harus mengucapkan terima kasih atau tidak, Dita tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Hai, kita boleh kenalan, kan? Gue Dita."

Aku menatap uluran tangan Dita lama sekali, syok.

Dita tertawa kecil, dia menarik uluran tangannya dan melipat tangan di dada. "Kok kayak kaget gitu, sih? Santai aja. Tapi gue udah tau nama lo, sih. Damalara, kan?"

Hanya mataku yang mengerjap beberapa kali sebagai respons. Setelah sadar, aku mengambil notes di tas dan menulis sesuatu.

Kok tau?

"Ada dua cara." Dita menunjuk bagian kanan seragamku. "Name tag lo, dan yang kedua, karena Bang Dirga nggak bisa berhenti sebut nama lo."

Aku yakin kerutan di keningku terbentuk sangat jelas, karena Dita tersenyum dan mengangguk. "Bang Dirga sepupu gue. Dan sekarang, dia ada di parkiran nunggu kita."

Tanpa meminta persetujuan apa pun, Dita menarikku menuju parkiran sekolah. Aku tidak bisa berbuat apa- apa, karena pikiranku tertuju pada kata terakhir yang diucapkan Dita.

Kita?

Dirga menungguku juga?

***

Mau update setiap hari apa?

Lara (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang