Trauma Kedua

160 10 0
                                    

"Nis, ayolah kufoto sekali saja ya. Kita memiliki hobi yang sama, tapi kamu nggak pernah mau aku foto.", gerutu Fathan padaku.
Aku memang bisa dibilang miskin teman. Bukan aku seorang yang pilih pilih dalam berteman, tapi hampir orang mengetahui bahwa aku memang seorang introvert. Tapi hal ini yang membuatku berusaha menjadi teman yang berkualitas. Karena aku melihat teman bukan dari kuantitas (jumlah), tak melihat statusnya, tak melihat latar belakang atau masa lalunya pula. Aku hanya ingin berteman dengan orang yang benar-benar ingin menjadi temanku. Karena itu, aku juga lebih menghargai teman yang kumiliki, karena untuk mendapatkan teman itu tidaklah mudah.
Fathan adalah salah satunya. Yah berteman dengan dia malah menjadikanku bergantung padanya. Dan Fathan mungkin tak sadar akan hal itu.
Hampir 20000 jam aku mengagumi Fathan dalam diam, membandingkan bahwa aku sangat jauh dari kata pantas jika mengharapkan dia. Selain itu keinginanku untuk mempertahankan pertemanan kami lebih kuat daripada Fathan harus menjauh karena kebodohanku yang sampai menaruh hati bahkan sebelum aku mengetahui namanya. Maka kini kau tau bukan bahwa aku lebih mengenaskan dari Ali yang menyimpan rahasia hatinya, dan yang berlaku sebagai Fatimahku adalah Fathan. Bodohnya aku.

Flashback on

"Nis, kaki kamu gpp kan?", tanya Kak Verra padaku.

"Iya, Kak gpp kok. Aku mau ke Gedung Elektronika dulu ya, nggak enak nih telat", jawabku sambir menyambar kamera yang ada di kursi depan pintu.

Malam semakin dingin, jelasnya karena hujan masih deras mengguyur bumi ini. Aku? Aku masih berjalan dengan kaki yang sedikit terluka akibat kecelakaan kecil tadi. Sekarang sedang ada kegiatan diklat di LDK kampusku dan aku wajib datang karena aku bendaharanya hihi. Tapi daripada aku cuma lihat lihat tanganku sengaja menyambar kamera yang tidak dipakai tadi.

Aku nggak ahli fotografi tapi aku suka aja fotografi. Banyak juga mahasiswa yang mengikuti acara tersebut, yah karena LDK ini termasuk UKM cukup berpengaruh juga sih di kampus.

Wait. Lensaku berkali kali mengambil gambar seorang lelaki yang aku sendiri tak tahu namanya. Dia kurus. Berwajah tegas. Terlihat dari cekungan dari garis di wajahnya. Dan dia memakai behel. Entah kenapa aku tak mengalihkan fokusku ke yang lain. Tenang ini bukan love at the first sight.

Akupun kembali pada aktivitasku dan berjalan di tempat lain. Memilih mengelilingi kampus, sendirian. Gelap. Petir dan kilat tak berhenti menemani. Tapi aku tidak takut dan melanjutkan kegiatanku mengamati hasil fotoku, hingga aku berhenti dan menatap cukup lama foto laki laki berbehel itu.

Flashback off.

"Kamu kenapa sih, Nis. Masih sakitkah perutnya?", tegur Fathan yang tiba tiba sudah duduk di sampingku.

"Eh .. Nggak kok aku gpp", jawabku yang masih dengan ingatanku pada malam itu.

Lelaki SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang