Pengakuan

122 5 2
                                    

Awan mendung menyelimuti langit sejak kemarin. Sudah pukul 7 malam hujan masih setia mengguyur kota ini. Cuaca memang sedang sendu. Tapi tidak baik kalo kita mendukungnya dengan bersedih.

Aku suka hujan, ketika yg lain mengeluh karena aktivitasnya terhambat aku tidak. Merasakan butiran air yg diturunkan oleh awan hitam membuatku berpikir bagaimana lagi aku harus mengekspresikan rasa syukur pada nikmatMu ya Allah. Membayangkannya saja aku tak sanggup. Memikirkannya membuatku menjadi semakin kecil dan tidak berdaya.

Hari ini aku pulang les lebih awal. Hehe aku mungkin bukan kuliah di bidang pendidikan. Aku juga tidak bercita cita menjadi guru. Aku hanya suka anak kecil. Seorang anak kecil mengingatkanku tentang bagaimana dulu aku ingin cepat menjadi dewasa, mendapat keluarga baru, dan hidup bahagia bersama pangeran nantinya. Wkwk dan setelah aku tumbuh semakin tua kenapa otakku semakin ingin kembali menjadi bocah yang tak paham makna kata masalah. Aku hanya ingin belajar sedikit demi sedikit oh jadi nanti kalo punya anak aku gimana ya biar jadi ibu yg baik. Terlalu jauh kah pemikiranku? Ah nggak juga. Pernah di satu kajian ustad favoritku, beliau berkata

"Sama pengen nikah usia 22, terus saya mempersiapkan diri agar orang tua saya yakin saya mampu menjadi seorang suami sejak usia 18 tahun. Coba bayangkan kalo saya baru mempersiapkan diri ketika saya berusia 22 tahun, usia berapa saya menikah?"

Nah kan, ada benernya tuh. Kita mempersiapkan semuanya nggak instan. Aku harus belajar semuanya. Agama, mendidik anak, merawat rumah dan keluarga, dan well masih tersisa satu yg sebenernya aku niat kok cuma nggak ada sarana prasarana wkwk. Apa itu? memasak

Tuh kan membayangkan sejauh itu membuatku lupa kalo kakiku sudah sampai di rumah yg bisa dibilang cukup besar. Rumah bercat orange, ya, ini rumah kontrakan Fathan. Aku masuk gerbang dan berdiri di depan jendela sebelah timur. Biasanya ketika datang aku mengetuk jendela itu, karena walaupun kata mereka "Udah biasa aja, Nis masuk aja" tapi aku tetap malu kalo belum dipersilahkan.

Sayup sayup kudengar suara lantunan ayat suci Al Quran. Aku sangat tau ini suara siapa.

"Nis, eh masuk kok di luar", Riyan muncul mengagetkanku.

" Sssst jangan keras keras napa"

"Oh I know, Abang lagi ngaji tuh", katanya lalu kususul Riyan masuk rumah.

Aku duduk termenung di samping pintu kamar Bang Fathan.

" Ngapain duduk depan pintu neng?", celetuk Tama.

Haduh mereka mengganggu saja. Aku mengusirnya dengan gerakan tanganku. Kulanjutkan aktivitasku. Allah beginikah caramu mengabulkan permintaanku. Sejak hari aku pertama kali bertemu Bang Fathan aku tak pernah absen mendoakannya. Aneh. Memang. Seolah takdir lambat laun memberi kesempatan untuk mengenal laki laki berbehel tersebut. Memberiku kesempatan pula mendengarkan suara mengaji laki laki berbaju koko ungu hari itu.

Dalam diamku jujur aku ingin menangis mengingat doaku sendiri. Allah berikan kesehatan dan kelancaran pada laki laki berbehel itu. Aku memang tidak tau namanya jika Engkau sudah menetapkan takdirku izinkan aku untuk dekat dan mengenalnya lebih jauh. Jika itu dia bukan bagian dari takdirku, maka hapus bayangannya dengan caramu. Semoga mas berbehel dan keluarga selalu dalam lindunganmu.

"Heh, ngapain depan pintu?", sapa Fathan dan aku tidak sadar jika pintunya sudah terbuka.

"Nggak kenapa kenapa pengen duduk aja", jawabku agak kikuk.

Kami pun melanjutkan aktivitas menyelesaikan proposal skripsi Bang Fathan. Aku pulang pukul 10 malam. Kami membahas banyak hal. Aku mencoba mengingat apa yg ingin kuingat saja. Bodo amat aku ingin membuka cerita baru. Aku ingin menutup ingatanku tentang Mawar. Bodo amat pokoknya mah.

Sesampainya di kos aku dan Bang Fathan masih membahas banyak hal dalam chat kami. Hingga keesokan harinya pun masih berlanjut.

Aku
Kalo pengen tau itu nanya sama orang nya lgsg jgn menduga duga

Fathan
Ya udah aku tak tanya dah

Aku
Tanya apa emang, baru bangun ya kamu

Fathan
Kamu punya perasaan g sih Nis, sama aku?

Allah, rasanya pengen kuskip aja bagian ini. Apa mungkin sekarang udah waktunya ya. Tapi kan aku nggak berharap apapun pada Fathan. Selama ini aku takut dia tau karena .. aku trauma. Hmm baiklah aku lebih baik dia tau dari aku sendiri daripada dari orang lain apalagi dari Mawar yg tidak tau cerita sebenernya yakan.

Kuceritakan seeeemuanya, tanpa kututupi sedikit pun. Aku deg deg an. Jadi gini rasanya mengakui rahasia terbesarmu. Fathan pasti menganggapku konyol. Haaa aku pengen nangis ya Allah.

Fathan tertawa. Fathan tidak marah. Dia hanya berkata

Fathan
Kok ada bocah kayak kamu, Nis. Ketawa g nih?

Aku
Tapi hbs ini kita tetep kyk biasanya ya? Kamu td udah janji kalo aku cerita g bakal ngerubah apapun. Aku takut, aku sebel karena km g percaya sm aku. Kamu penasaran itu nanya bukan malah ngegunjing sama orang

Fathan
Iya, Nis. Mulai sekarang kalo ada apa apa aku bakal nanya lgsg deh

Entah mengapa perasaan lega muncul. Allah aku tak bisa jadi Ali yg berakhir bahagia bersama Fatimah. Bahkan aku mengungkapkannya sendiri pada Fathan. Nggak tau lah. Mungkin memang ini skenarionya.

Lelaki SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang