Diam bukan Mendiamkan

119 10 1
                                    

Sudah 2 hari berlalu, dan aku masih berkutat dengan pikiranku. Aku juga tidak bertemu Fathan sejak kabar Mawar melamarnya waktu itu. Pesan dari nya hanya kubaca, telponnya ku reject, aku hanya takut perasaan ku tidak terkontrol jika bertemu dengannya. Astaghfirullah pengecut kan aku?

Rahma
Kak, lagi marahan ya sama Kak Fathan? Dicariin tuuh sampe ngechat aku segala lagi, bales sana gih

Ya, ya, kalau aku jadi Fathan pasti juga bingung dengan perubahan sikapku. Terlalu polos atau bagaimana aku ini, memendam rasa sendirian dan berakhir tragis karena sang pujaan hati akan menikah. Akhirnya akupun menulis surat, surat yang hanya aku dan Allah yang tau.
Baris demi baris kususun dengan rapi, mengingat semua pertemuan kami membuat ku tak sadar sudah menitikkan air mata. Ah bodoh sekali suratnya jadi basahkan. Menulis saja sudah menangis bagaimana bisa aku berbicara langsung padanya. Ini benar benar gila, Nisa. Ujarku dalam hati.

Ferrum
Nis, udah hari ke 3 nih. Aku salah bgt ya sama kamu sampe kamu gamau ngmg gini

Aku melihat pop up d hpku dan langsung menutupnya. O iya masih banyak yang tanya kenapa aku menyebut Fathan itu Ferrum. Agar orang orang tidak mengetahui siapa laki laki yang kusukai tersebut. Karena aku kuliah jurusan kimia maka kupilih F untuk mewakili Fathan. Dan Ferrum dengan nomer atom 26 sama dengan ulang tahun Fathan 26 Juni. Iseng aja sih. Ah udah lah mungkin baiknya aku tak terlalu memikirkan dia. Toh tidak ada yang menjamin dia memikirkanku. Menyebalkan bukan.
Tapi sejujurnya aku orang yang tidak tega. Apalagi pada laki laki itu. Aku menarik nafas dan menghembuskannya kasar. Haruskah aku membalas pesannya dan berkata bahwa aku tidak marah padanya? Jika aku marah alasan apa yang aku berikan padanya? Allah bantu aku menemukan jawabannya.

Lelaki SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang