Sebelum hujan mendung juga petir melanda langit dan bumi, aku telah lebih dulu bersedih.
Apa itu kebahagiaan? Aku sudah hampir lupa. Dan mungkin, besok akan benar-benar lupa. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku diterpa rasa bahagia. Mungkin, saat aku kecil dulu.Setiap hari, aku selalu jadi orang yang berpura-pura baik-baik saja. Jangan pernah tanyakan aku tentang kejujuran. Karena, setiap hari aku selalu berkawan dengan kebohongan. Aku selalu berbohong. Ya, selalu. Aku membohongi banyak orang, juga diriku sendiri. Aku berkata bahwa hidupku itu nyaman, dengan keluarga yang lengkap, juga kasih sayang yang cukup. Tapi, sekali lagi semua itu hanya kebohongan. Kehidupanku berbanding terbalik dengan semua itu.
Setiap hari, aku selalu menyaksikan perdebatan antara Ayah dan Ibu, yang sungguh sangat menghacurkan otakku.
Jika dulu aku tahu Tuhan akan menciptakan aku dengan hati, jujur aku akan menolaknya! Akan lebih baik jika aku hidup tanpa hati. Dengan begitu, aku bisa memasabodokan keluarga hancurku ini. Ya, Hancur!!Azka Mapaita Dirgantara. Itu namaku, pemberian dari orang yang kusebut Ayah dan Ibu. Entah, dulunya mereka dipersatukan oleh cinta, atau kehendak orangtua. Yang jelas sekarang ini, mereka selalu berseteru, hidup seatap namun bagaikan musuh yang ingin menelan daging satu sama lain.
"Azka, kau sudah makan?" bahkan pertanyaan seringan itu sulit kudengar dari mulut mereka.
Aku heran, kenapa bisa aku terlahir sebagai pemuda yang sepengecut ini. Merindukan sesuatu, yang bahkan tidak berarti apa-apa untuk orang lain. Hmmm, mengapa dunia harus semenyebalkan ini?!"Aku pamit."
"Azka, hari ini Ibu ke Surabaya!"
"Hmmm."
"Kau jangan bolos sekolah, juga jangan lupa makan!" ucap Ibu yang terdengar ragu-ragu.
"Sejak kapan?"
"Maksudmu?"
"Iya, sejak kapan Ibu peduli tentang hidupku? Apa mungkin di bayangan Ibu, aku itu Kak Kiara? Ibu aku ini Azka. Anak harammu!"
"Azka, jaga mulutmu!"
"Sudah. Aku ke sekolah." Aku langsung berlalu tanpa mencium tangan ibuku. Aku tidak seperti anak-anak di luaran sana yang bahagia ketika melihat seorang Ibu menatapnya. Aku terganggu, sangat terganggu dengan senyuman Ibu, karena senyumnya hanya akan menambah besarnya rasa tanyaku, aku hanya ingin tahu aku ini anak siapa dan siapa sebenarnya aku. Aku muak dengan keluargaku sendiri, mereka seperti orang asing bagiku. Orang yang kusebut Ayah, Ibu, dan Kakak itu sama sekali tidak membuatku merasa dilingkari cinta dan kasih sayang. Mereka seperti musuh yang perlahan akan merobek hati dan akan menghancurkanku. Hidup ini begitu lucu.
Kehidupan di sini sungguh mengerikan. Berisik, dan tidak pernah membuatku tenang. Aku tinggal di Ibu kota yang tidak pernah ku-ibukan. Ibu kota sama kejamnya dengan Ibu, tidak pernah mengalirkan cinta juga kedamaian dalam diriku.
Kasih sayang itu mendamaikan, bukan menjadi hal yang dirindukan karena semua orang memiliki kasih dan sayang. Namun, aku sama sekali tidak memiliki hal itu. Aku tidak diberi kasih sayang, pun tidak memberi kasih sayang pada siapa pun.
BERSAMBUNG ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Aku
Teen FictionSeberapa jauh kau akan berlari aku akan terus mengejar. Tidak perduli betapa sulit dan sakitnya itu akan tetap kulakukan. Kau bukan satu-satunya kebahagiaan yang aku punya tapi kau akan jadi satu-satunya di hatiku. Tetaplah di sini, memberiku senyum...