Kau bukan keluargaku!

107 11 0
                                    

Tidak ada yang lebih mengerikan dari berada di antara keramaian namun kita tetap merasa sendiri dan kesepian.

Aku tidak beranjak dari tempat tidur, setiap hari aku tidak punya tujuan. Selalu berdiam di dalam kamar. Aku tidak punya teman akrab, bagiku tidak ada yang bisa dianggap sebagai teman. Malika dulu adalah teman yang paling aku percaya, setelah lama berteman dan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama, membuat aku menaruh perasaan padanya. Memberanikan diri menyatakan perasaan dan berjanji akan melindunginya adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan. Setelah menjalin hubungan dengan Malika hatiku hancur lebih dari sebelumnya. Bahkan untuk mengingat caranya menyakitiku pun aku sudah serasa mati dan berada di tempat lain selain dunia. Aku berjanji akan menjaganya tanpa aku sadari dia adalah orang yang berniat mencelakakanku. Gila, bukan? Aku melindungi seseorang yang jelas-jelas berniat buruk padaku.

Aku mulai merasa bosan sebosan-bosannya. Akibat terlalu lama berbaring di kasur, aku merasa nyeri pada bagian kepala. Di pikiranku saat ini hanya satu, aku ingin menuju taman.

"Mau kemana kau?" aku tidak punya alasan kenapa aku harus menjawab pertanyaan pria tua yang ada di hadapanku saat ini.

"Mau kemana, Azka?" tanya Kiara, wanita yang kusebut Kakak. Mereka berdua begitu merepotkan. Pertanyaan tidak berguna mereka sungguh mengganggu.

"Azka, Kakak ikut, ya?" tawarnya dengan senyum.

"Tidak bisakah kau tidak mengganggu hidupku? Hiduplah seolah kau tidak mengenalku," ucapku dengan nada yang sangat datar. Aku melangkah lagi. Namun, tetap terhenti karena dua sosok yang kubenci. Sebenarnya apa yang mereka inginkan? Apa tidak cukup mereka membuat hati dan hidupku hancur? Aku tidak pernah ikut campur atau penasaran dengan urusan mereka tapi mengapa mereka bersikap seperti ini, bersikap seolah-olah mereka adalah keluargaku. Aku tidak pernah menganggap mereka sebagai keluarga. Tidak pernah!

"Azka ... tidak bisakah sehari saja kau menggapku sebagai kakakmu?"

"Jangankan sehari, sedetik pun aku tidak pernah sudi!" Entah, aku sangat marah setiap kali dia mengatakan hal-hal semacam itu. Emosiku meledak-ledak. Aku benci ketika dia memintaku untuk menganggapnya sebagai Kakak. Dia bukan keluargaku, apalagi kakakku.

"Apa salahku padamu, Azka? Apa pernah aku melukaimu? Jika pernah, aku meminta maaf dengan tulus padamu," ucapnya menghampiriku dengan posisi setengah duduk menyentuh kakiku dan terlihat air mata mulai menghujani pipinya.

"Dengan meminta maaf tidak akan pernah cukup membuatku merasa baik-baik saja," jawabku tanpa melirik lagi ke arahnya yang masih menyentuh kakiku.

"Kiara, berdiri ... Kiara, Ayah minta kau berdiri!" teriak pria tua. Iya, itu ayahnya tapi bukan ayahku. Dia terus menarik Kiara agar mau bangun dan melepas cengkeramannya. Aku tidak pernah memintanya untuk melakukan itu, bukan salahku jika ayahnya marah dan merasa begitu hina.

"Tidak, Yah. Aku ini kakaknya. Aku tidak ingin adikku membenciku. Aku tidak pernah tahu alasannya membenciku tapi aku sangat ingin meminta maaf atas apa pun yang telah aku lakukan dan melukainya," ucapnya yang kini semakin terdengar serak.

Aku tersenyum jijik. Sungguh kata-kata yang menggelitik telinga. Apa pun yang dia lakukan, aku selalu merasa dia sedang menghinaku.

"Jika kau tidak pernah tahu apa alasan aku membencimu, kenapa kau tidak mencoba mencari tahu?"

"Sebab itulah aku menanyakan padamu, aku selalu mencari tahu. Setiap hari aku selalu mencari tahu."

"Hahaha ... kau mencari tahu? Lalu yang kau dapat hanya perasaan bahwa kau tidak pernah melakukan kesalahan dan bersikap seolah kau lebih baik dengan cara meminta maaf seperti ini? Kau membuatku semakin jijik!" Aku menarik kakiku hingga terlepas dari cengkramannya kemudian berlalu. Entah kenapa air mataku menetes. Aku malu, pria seusiaku meneteskan air mata hanya karena kejadian bodoh itu. Setiap kali mereka bicara padaku aku selalu merasa sakit. Apa sulit bagi mereka untuk mengabaikanku? Aku sungguh ingin hidup tenang.

Berjalan seorang diri menuju taman yang berada cukup jauh dari rumah, menyedihkan. Benar-benar menyedihkan.
Saat di perjalanan, aku melihat Malika. Waktu yang sangat tidak tepat. Tuhan sedang mengutukku, Tuhan tidak ingin membiarkanku tenang di hari ini. Aku melihatnya berkali-kali belakangan ini. Apa aku harus sedih? Marah? Atau bahagia karena melihatnya?

Kali ini hatiku yang mencoba menjadi pembunuh dan mencelakakan diriku sendiri. sebenci apa pun aku dengan Malika aku tidak tahu perasaan apa yang harus aku tunjukkan ketika melihatnya. Hatiku memang kacau dan tidak tahu malu.

BERSAMBUNG ....

Jangan lupa vote ya, aku usahain tiap hari update. Mohon supportnya 🙏

Ada AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang