Kebencian akan membuatku lupa siapa kau

102 11 0
                                    

Satu hari dimana cinta di masa lalu mengetuk kembali hati yang telah susah payah dikunci.
Hari terasa begitu panjang di sekolah, baru kali ini aku sangat lelah. Napasku terengah-engah seperti telah berlari jauh dikejar seseorang. Tiba di rumah tidak akan membuat perasaanku membaik, aku tahu itu. Tapi, apa boleh buat hanya ini satu-satunya tempat yang bisa kutuju.

"Amira ke Surabaya, rasanya ingin mengajak Dina menginap di sini," ucap Ayah sembari tersenyum. Sambutan macam apa itu? Tidak seharusnya seorang anak diperdengarkan hal-hal semacam itu. Dia memang Ayah yang sangat tidak bisa aku banggakan.

"Hei, Azka ... kenapa kau pulang?" Pertanyaan yang sungguh gila, bukan?

"Ini rumahku, seharusnya aku yang bertanya kenapa kau masih di sini?!" jawabku ketus. Aku segera meninggalkan pria yang kusebut Ayah itu, namun dia menghentikan langkahku.

"Kau ini memang anak yang kurang ajar, aku ini Ayahmu!"

"Selain dirimu, apa ada seorang Ayah yang menanyakan pertanyaan bodoh sepertimu?"

"Anak ini benar-benar ...."

"Lagi pula aku tidak pernah merasa memiliki Ayah. Jangan karena aku memanggilmu Ayah bukan berarti aku menganggapmu sebagai seorang Ayah. Bagiku kau itu monster!"

"Sifat kurang ajarmu ini menurun dari ibumu," ucapnya santai diikuti dengan seringai khasnya yang membuatku tidak betah berlama-lama berada di hadapannya.

"Aku juga tidak punya Ibu!"

"Di dunia ini aku hanya punya diriku sendiri, kalian? Haha ... kalian itu hanya bayang-bayang yang tidak berpengaruh dalam hidupku. Lakukan hal yang ingin kau lakukan, aku tidak pernah perduli termasuk dengan wanita-wanita bodoh simpananmu itu!" Aku beranjak dari tempat itu, perasaanku semakin saja keruh. Aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang membuat aku merasa tidak berarti. Hidup ini memang keji.

"Azka ...."

"Azka ...."

"Azka ...."
Lagi dan lagi. Suara menganggu itu kembali mengusik dan menyita waktu istirahat yang tersisa. Tanpa permisi seorang wanita berambut pirang masuk ke dalam kamar dan menyodorkan aku sepiring makanan.

"Cihhh ... buat apa ini? Kau mau meracuniku?" tolakku yang kembali berbaring.

"Kakak membawakanmu makanan, ayo makan!"

"Berhenti bersikap seolah-olah kau itu kakakku!"

"Aku memang kakakmu, Azka!"

"Aku memanggilmu kakak karena aku menghargai seorang kakak yang begitu mustahil akan muncul di hidupku."

"Lalu bagimu aku ini apa?"

"Kau hanya wanita yang hadir untuk menghancurkan hidupku!"
Sekasar apa pun aku meneriaki wanita yang kusebut Kakak itu, dia tidak pernah goyah, dia selalu bertingkah kuat dan tegar menerima setiap makian yang keluar dari mulutku. Perlakuannya itu tidak sedikit pun membuat perasaanku luluh. Ibu menyayangi dia lebih dari apa pun, dan aku benci semua orang yang Ibu sayangi.

"Kakak letakkan di meja, ya. Makanlah, ini sangat enak!" Aku mendengar langkahnya yang semakin lama semakin jauh. Selezat apa pun makanan itu, aku tidak akan sudi membuatnya menyentuh tenggorokanku.

Semakin banyak yang membuatku luka semakin tidak ada yang dapat aku percaya. Semakin aku mencintai semakin besar luka yang akan aku terima. Semakin sering aku memberi perhatian maka semakin dekat pula aku dengan kelumpuhan.

Dunia tidak pernah sedetik saja membuat aku tidak membenci siapa pun yang telah membuatku luka. Ayah, Ibu, Kakak, dan Malika. Luka yang menancap tepat di jiwaku yang hampir tidak memiliki nyawa.

Tuhan, hadirkan satu saja seorang yang bisa membuatku percaya bahwa ketulusan itu benar adanya.

BERSAMBUNG ....

Ada AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang