Jika

57 6 0
                                    

"Azka," teriak Ayah dengan sangat kencang. Malika terangkat, ia sangat terkejut dan aku coba menenangkan Malika.

"Siapa dia?" tanya Ayah yang dengan cepat telah tiba di depanku. Sambil menunjuk Malika, Ayah mengatakan lagi, "Siapa dia?"

Tanpa menjawab pertanyaan Ayah, aku segera menggenggam erat tangan Malika lalu menuntunnya keluar.

"Azka!" teriaknya lagi. namun, aku tetap mengabaikannya.

"Akan ada lagi orang yang akan luka selain dirimu!" ucapnya sontak menghentikan langkahku. Entah itu sebuah ancaman, tapi hal itu membuat Malika bergidik seolah sedang menyaksikan pembunuhan brutal.

"Jangan takut, jangan takut," bisikku pada Malika. Aku meneruskan langkah tanpa memperdulikan lagi ucapan Ayah yang jelmaan dari monster itu.

"Kau ingin pulang sekarang?" tanyaku pada Malika, dia mengangguk sambil memasang wajah datar.

"Aku mengambil sesuatu di dalam," ucapku yang kembali masuk ke dalam rumah. Aku mempercepat langkah karena takut Malika akan ketakutan di luar sana.

Hampir sampai di depan kamar. Aku menoleh ke arah ruang dalam, di ruang tamu hanya ada Ibu dan Kiara.

Sempat bertanya-tanya kemana pria tua itu pergi, Ayah tidak tampak lagi di dalam rumah atau pun di ruang tempat aku dan Malika duduk tadi.

Pikiran seketika tertuju pada Malika.

"Malika ...." gumamku yang mengalirkan rasa khawatir. Ayah tidak ada di dalam rumah dan Malika sekarang tengah menungguku di luar, tepatnya di depan rumah. Aku mengurungkan niat untuk mengambil gelang yang sejak tadi malam telah kubuat untuk Malika. Gelang berwarna merah yang terbuat dari lilitan benang sederhana. Aku segera berlari menuju Malika, jika sampai Ayah menyentuh dan menyakiti Malika mungkin aku tidak akan mengenal sabar atau semacamnya lagi.

Hati dan pikiranku seketika berantakan, kacau dan dikuasai oleh rasa khawatir.

"Malika ...."

Aku menatap ke arah tempat Malika berdiri tadi, dan ....

"Kaka?"

Ternyata dia masih ada di sana. Berdiri sendiri dan nampaknya baik-baik saja. "Syukurlah," gumamku.

Ketakutanku tadi hanyalah sebatas ketakutan.

"Syukurlah."

"Syukurlah? Kaka, kau kenapa?"

"Tidak. Kita pulang sekarang, ya?"

Malika mengenggam tanganku lalu tersenyum.

"Kenapa tersenyum?" tanyaku sambil berjalan pelan. Jarak antara rumahku dan Malika tidaklah jauh, dan di tengah-tengahnya terdapat taman yang biasa aku kunjungi dengan Malika.

"Aku bahagia karena masih bisa melihatmu," jawabnya lirih.

"Kau akan selalu bahagia. Karena setiap hari kau akan selalu melihatku di sisimu," ujarku sambil membalas senyumnya.

Aku tidak akan melangkah kemana pun tanpa Malika. Aku tidak akan berjalan sendiri. Setiap hari, Malika dapat melihat mataku agar dia dapat berkaca betapa cantiknya ia ketika tersenyum selayaknya tadi.

"Kaka?"

"Iya?"

"Kau tahu arti pergi dari senja?"

"Tidak. Apa?"

"Senja itu setiap hari selalu pergi meninggalkan langitnya, namun perginya untuk kembali. Senja pergi karena senja paham, ada saatnya langit membutuhkan hal lain selain dirinya untuk dapat bertahan. Ketika malam, langit akan lebih membutuhkan bulan dan bintang  untuk menerangi sekalipun dia sangat menginginkan senja."

"Jika suatu saat aku pergi, ingatlah senja. Aku pergi untuk membuatmu bertahan dengan sesuatu yang kau butuhkan. Bagaimanapun senja pergi, percayalah langit tidak akan kehilangan senja begitu pula sebaliknya."

"Yang kubutuhkan hanya kau!"

Mendengar Malika mengucapkan itu, perasaan aneh tiba-tiba merambah hatiku. Aku takut dia akan benar-benar pergi seperti senja. Aku sungguh takut.

Telah tiba di depan rumah Malika. Aku melihat langkahnya masuk, namun dia kembali menghampiriku.

"Masuk, ya?" tawarnya dengan manja.

Aku tersenyum seraya mengiyakan tawarannya tadi. Sebenarnya aku gugup. Ini pertama kalinya aku mengunjungi rumah Malika.

Aku takut akan terlihat canggung di depan ayah dan ibu Malika. Namun, aku juga sangat ingin menyapa mereka.

"Ayah? Ibu?" panggil Malika sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah yang berwarna cokelat muda. Rumah yang terasa damai sama seperti penghuninya.

Ada seseorang yang membuka pintu dan itu adalah ibu Malika. Walaupun aku sama sekali tidak pernah melihat ibu Malika, namun aku tahu betul bahwa yang sekarang tengah berdiri adalah ibunya. Karena, wanita Yang kini berdiri ini terlihat sangat cantik seperti Malika.

"Ika," sambut ibu Malika dengan senyumnya.

"Bu, ini teman Malika," ucap Malika.

"Teman Malika? Masuk, Nak," ajaknya. Entah kenapa, aku lebih merasa damai di rumah ini dibanding rumahku sendiri. Sikap ibu Malika yang sangat hangat ini membuat aku merasakan kasih sayang seorang Ibu yang telah lama tidak pernah aku rasakan lagi, bahkan aku ragu apa memang pernah aku merasakan itu sebelum ingatanku hilang?

Aku duduk di ruang tamu yang juga terasa damai. Ibu Malika melangkah menuju dapur dan keluar membawa secangkir teh hangat. Sebenarnya, aku tidak menyukai teh, namun aku tidak bisa menolaknya. Lagi pula, teh itu akan terasa enak karena perasaan damai yang kini aku rasakan.

"Ini peratama kalinya Malika mengajak teman prianya kerumah," ujar ibu Malika.

Aku tersedak, padahal aku belum sempat meminum teh yang kini tengah berada di atas meja.

"Begitu ya, Bu?" jawabku ragu. Aku tiba-tiba terangkat lagi, aku baru saja memanggil ibu Malika dengan sebutan Ibu. Benar-benar membuatku merasa sangat malu.

Ibu Malika tersenyum kecil seraya mengucapkan, "Anggap saja Ibu seperti ibumu sendiri."

"Apa boleh?"

"Sangat boleh," jawab Malika yang tiba-tiba muncul dengan mengenakan dress berwarna cokelat keemasan. Dia terlihat sangat cantik hingga membuat aku terperangah.

Spontan aku mengambil cangkir yang berisi teh dan meneguknya secara terburu-buru. Malika tertawa, membuatku semakin ingin meneguk teh yang kini tinggal beberapa tegukan lagi.

"Ibu, Azka tidak menyukai teh," jelas Malika pada ibunya sambil tertawa.

"Tidak suka teh? Kenapa diminum, Nak?"

Aku hanya tersenyum malu, dan mungkin sekarang pipiku sudah mulai memerah.

Berada di antara keluarga ini membuatku merasa sangat bahagia. Dua wanita cantik yang kini dapat dengan leluasa kutatap benar-benar berhati lembut dan penyayang. Akan sangat rugi jika tiap detik dalam hidupku tidak melihat senyum tulus mereka lagi.

Ibu Malika menghampiriku kemudian duduk. Sambil mengelus-elus kepalaku, ibu Malika meneteskan air mata.

"Ibu dulu juga memiliki anak laki-laki yang mungkin jika dia masih hidup akan setampan kau."

Seketika wajahku jatuh seolah tertimpa beban yang sangat berat. Aku tahu rasa kerinduan yang kini membelit hati ibu Malika.

Dan beberapa kali aku melihat ke arah Malika yang juga tengah sibuk mengusap air mata.

"Peluk Azka, Bu. Azka sekarang telah menjadi anak laki-laki Ibu." Ibu Malika benar memelukku. Dia begitu merindukan anaknya.

"Jika anak Ibu dapat berbicara sepertimu, semenit sebelum ia meninggal ia pasti memberitahu Ibu siapa yang telah melukainya dengan sangat kejam," jelasnya lagi. Isak tangis ibu Malika membuatku tak kuasa mendengar lagi apa pun yang ia katakan. Aku seperti terkoyak. Ragaku seperti membeku.

"Jika dia dapat berbicara, sebelum dia pergi, dia pasti akan mengucapkan bahwa dia sangat menyayangiku."

BERSAMBUNG ....

Ada AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang