"Jangan sentuh dia lagi, kumohon." Kalimat itu tidak dapat kutahan namun kakiku sulit kugerakkan.
"Malika ...."
Aku masih tidak dapat menggerakkan kaki. Bibirku terkunci dan tatapanku diam pada wanita yang kini didekap Aumar. Ya, dia Malika.
"Lepaskan!" teriak Malika. Teriakan yang sempat kudengar tadi.
Malika mendorong Aumar lalu menatap ke arahku, melihat Malika yang diam menatap lirih seperti itu, Aumar dengan langkah cepatnya telah tiba di hadapanku.
"Ternyata kau?!" ucap Aumar. Belum sempat menjawab dan bergerak, tubuhku telah terjatuh. Apa? Dia telah menjinju wajahku dengan emosi.
"Ternyata kau?!" ucapnya lagi sambil menarik kerah bajuku hingga membuat kakiku bangkit secara paksa. Namun, beberapa saat setalah itu aku kembali terjatuh. Aku tidak dapat melawan. Emosiku hilang. Gairahku sama sekali telah mati sejak saat melihat Malika didekap oleh Aumar.
"Azka ...." suara itu. Aku mencintai dia. Tapi, haruskah aku sakit pada detik yang sama? Rasa cinta selalu datang bersama dengan rasa sakit yang aku rasakan. Aku tidak dapat melihat Malika didekap pria lain.
Aumar masih tidak dapat menghentikan hasratnya untuk membuatku jatuh, jatuh dan jatuh. Dia terus memukul dan meninju wajahku. Namun, aku hanya bisa diam.
"Azka ...."
Malika, kumohon jangan berteriak seperti itu sambil menyebut namaku. Jangan lagi.
Malika mendekat lalu ....
Prakkk
PrakkkDia menampar Aumar dengan sangat keras. Aku dapat mendengar itu.
"Kau?! Berani-beraninya kau!" ucap Aumar.
Prakkk
PrakkkAumar berbalas menampar Malika.
Napasku terengah-engah.
"Brengsek!" teriakku yang bangkit kemudian memukuli Aumar berkali-kali. Tidak akan kuberi ampun. Aku menarik lagi tubuh Aumar yang berada tepat di bawahku. Berkali-kali aku meninju wajah brengseknya.
Aku marah, sangat marah. Aku tidak dapat bergerak ketika dia menyakiti ragaku, tapi ketika tangan busuknya menyentuh raga Malika, takkan kuberi ampun. Tidak akan kuberi ampun."Beraninya kau brengsek!" teriakku lagi penuh amarah. Aumar tidak dapat bangkit, dia sedang menikmati betapa sakitnya pukulan yang lahir dari tanganku yang begitu merasa marah. Hatiku tidak sanggup menahan amarah. Kali ini aku tidak dapat menahan diri. Aku rela menjadi pembunuh untuk siapa pun yang menyakiti Malika.
"Brengsek! Akan kubunuh kau, brengsek!"
"Ada apa ini?" Masih dapat kudengar suara Ello, teman kelas sekaligus ketua kelasku.
"Azka ...." teriaknya sambil menarik dan menghalangi tanganku agar tidak kembali memukul Aumar. Sial! Kali ini, Aumar masih dapat menghirup udara dan menatap manik mata Malika tapi, jika esok tangannya berani menyentuh dan menyakiti Malika, akan kupastikan itu adalah hari terakhir dia berpijak di dunia yang tidak pernah adil ini.
"Bersyukurlah kau hari ini!" tegasku yang berlalu dari tempat itu.
"Azka ...." Selalu saja panggilan seperti itu kudengar dengan sangat sering semenjak dia hadir kembali di hadapanku.
"Kaka ...."
Tanpa berpikir panjang aku melangkah mendekati Malika kemudian memeluknya erat. Aku tidak perduli lagi tentang rasa sakit yang aku rasakan sebelumnya, yang kutahu hari ini aku begitu merindukannya, begitu mengkhawatirkannya dan ... semakin mencintainya.
"Kaka ...."
"Jangan bicara!" perintahku yang masih memeluknya dengan sangat erat.
"Kaka ...."
"Jangan bicara. Aku lelah, Malika."
Berada di pelukan Malika membuat khawatirku sedikit berkurang.
"Jangan terluka ...." Mengelus rambut Malika sambil mengatakan jangan terluka adalah kedamaian yang datang tanpa kuundang. Rinai hujan mampu membuat tubuhku dingin, embun pagi kuasa menggertakkan gerahamku, namun hanya dengan kehangatan dekapan Malika, semua itu tidak akan ada artinya.
"Kau ... aku menemukan alasan kenapa aku tidak boleh pergi," ucapku memandang manik Malika. Indah, begitu indah.
"Sebenarnya aku tidak ingin kau hadir sebagai alasan tapi kenyataannya kaulah satu-satunya alasan yang kupunya. Jangan terluka," sambungku lagi.
Memang benar Malika telah menyakiti hatiku, memang benar aku telah sakit berkali-kali. Namun, sekarang aku telah menemukan arti sakit yang sesungguhnya.
Sakit yang sesungguhnya ialah ketika melihat dia yang kita cintai terluka dan kesakitan.
Tak apa jika orang lain menyentuhku hingga terluka, aku dapat menahannya. Tak apa jika Malika menggurat luka pada hatiku berkali-kali, aku masih dapat menahannya. Tapi aku tidak akan baik-baik saja jika melihat Malika sakit apalagi terluka.
"Aku tidak akan pergi, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku adalah orang yang lupa sebagian ingatanku di masa kecil dan aku akan melupakan caramu menyakitiku dulu. Aku tidak akan pernah mengingatnya sebagaimana aku tidak dapat mengingat kenanganku di masa lalu."
"Kaka ... aku mencintaimu. Tetaplah di sini, jangan pergi."
"Tanpa kau minta aku akan tetap bersamamu, Malika."
Meninggalkan karena alasan terluka adalah perkara yang memalukan. Hari ini aku berjanji, sesering apa pun aku terluka karena Malika, aku tidak akan pernah meninggalkannya lagi. Bertahan dengan luka akan lebih baik daripada mengakhiri lalu pergi, kemudian merindu berkali-kali. Rindu adalah luka terparah, sebab itulah aku kembali pada Malika, karena lukaku bersamanya tidak separah luka karena terus merindukannya.
BERSAMBUNG ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Aku
Teen FictionSeberapa jauh kau akan berlari aku akan terus mengejar. Tidak perduli betapa sulit dan sakitnya itu akan tetap kulakukan. Kau bukan satu-satunya kebahagiaan yang aku punya tapi kau akan jadi satu-satunya di hatiku. Tetaplah di sini, memberiku senyum...