Khawatir

53 3 0
                                    

Entah, berapa lama lagi aku harus menunggu Malika kembali. Aku telah terlanjur dikuasai oleh rasa penasaran. Awalnya aku tidak benar-benar perduli tentang apa pun yang telah Malika rahasiakan, lagipula hal itu telah berlalu sangat lama. Namun, aku juga tidak paham apa yang telah menarikku untuk masuk ke dalam ruang penasaran yang memenjarakan aku hingga sulit keluar dan mengatasinya lagi seperti awal.

Aku masih setia menunggu Malika. Duduk manis seperti seorang yang sedang menunggu di halte bus. Ini tidak membosankan tapi sungguh membuat tak sabar.

"Kaka ...."

Akhirnya suara itu terdengar.

Aku tersenyum menyambut Malika, aku sangat ingin mendengar cerita yang sempat terpotong tadi.

"Maaf, ya?"

"Bisa lanjutkan yang tadi?"

Malika menghela napas. Mungkin sangat sulit baginya untuk memulai cerita yang setahun lalu telah disimpannya dengan rapi.

"Kaka ... saat aku sendiri di luar menunggumu, ayahmu menghampiriku."

"Lalu?" Ayolah Malika, katakan dengan segera agar aku tahu apa yang telah kau rahasiakan dariku.

"Dia mengatakan bahwa kau akan mati di tangannya, dia ... dia terus menceritakan padaku bahwa dia senang kau tinggal serumah dengannya, karena dengan begitu dia akan lebih mudah meraih lehermu lalu mencekiknya dengan sekuat tenaga ...."

"Bisa kau hentikan sebentar?" pintaku yang merasa begitu sesak. Berkali-kali aku menelan ludah yang sepatutnya harus kubuang, namun cerita Malika membuatku ketakutan. Bukan ketakutan karena Ayah berniat membunuhku namun karena aku takut dengan diriku sendiri.
Aku takut jika aku benar-benar adalah keluarga dari ketiga orang yang sekarang tengah duduk manis di rumah.

"Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" Tatapan Malika teralih ketika mendengar pertanyaan sederhana yang baru saja meluncur. Pertanyaan itu memang terdengar begitu sederhana namun sulit untuk bisa dengan segera terjawab oleh Malika.

"Aku telah memberitahumu, dan aku sadar caraku itu salah besar!"

"Maksudmu?"

"Iya. Alasan aku meneriakimu, mengatakan kau anak haram dan mengaku aku tidak mencintaimu lalu menerima cinta Aumar. Ya, semua itu adalah alasannya."

"Kaka ... aku sengaja mengatakan itu agar kau segera pergi dari rumah itu dan pindah dari sekolah. Namun, nyatanya kau hanya pindah dari sekolah untuk menjauhiku dan tetap tinggal bersama mereka di rumah yang seperti nereka itu," jelas Malika sambil mengusap air matanya.

Aku tidak ingin Malika menangis lagi karena mengkhawatirkan aku, namun aku tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa mengusap air matanya dengan lembut dan meyakinkan padanya bahwa aku akan baik-baik saja.

Ternyata kekhawatiranku saat itu benar-benar terjadi, Ayah telah menyeret Malika ke dalam urusan keluargaku. Semua ini salahku. Salahku!

"Tapi, saat aku keluar dari rumah aku tidak melihat Ayah bersamamu?"

"Setelah mendengar langkahmu yang begitu jelas, ayahmu langsung pergi," ungkap Malika yang kemudian berdiri.

"Kenapa kau menyembunyikan semuanya?"
selidikku yang sangat ingin mengetahui alasan yang sebenarnya. Meskipun Malika telah menjelaskannya dengan rinci, kurasa masih belum cukup.

"Tidak ada alasan lain, karena aku ingin kau baik-baik saja," terang Malika yang masih berdiri membelakangiku.

Aku menarik tangan Malika untuk duduk kembali. Aku tidak ingin mengingat hal ini, telah lama berlalu-- tidak semestinya membuat gaduh lagi. Hingga saat ini aku masih baik-baik saja, dan apa yang telah Malika ucapkan dulu, apa pun alasannya aku tidak pernah perduli lagi. Semua hanya akan memperkeruh perasaan juga akan mengundang kecemasan baik aku juga Malika.

Ada AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang