Jika kita berlari sekuat tenaga menjauh dari luka, bukan kesembuhan yang akan kita dapat tapi hanya rasa lelah.
Sang surya memberi kehangatannya dengan sukarela, siluet wanita pendamai hati telah terkulai di batas ingatan, menyelipkan ketenangan di sela-sela guncangan hati yang sering kali meretakkan dirinya sendiri. Tidak ada pembatas untuk bisa meraih dan memeluknya, namun sangat sulit untuk dapat dilakukan. Aku lupa, itu hanya siluetnya, takkan dapat kudekap meski ingin, takkan dapat kuraih meski tepat di depan mata. Ke mana dia? Mengapa hanya siluet dirinya yang masih tersisa? Itu pun hanya bekas dari ingatan yang terus meroda-roda.
Hari ini memang benar bukan hari terburuk di sepanjang hidupku, telah banyak hal buruk yang telah aku lewati bahkan lebih buruk dari ini, tapi kali ini aku sangat ingin beristirahat. Aku sangat lelah. Sungguh!
Ayahku ... dia telah berdiri di sana--di depan pintu kamar. Dia terus tersenyum, membawa secangkir minuman yang telah susah payah dibuatnya hanya untukku.
Bukan ingin mendustai takdir yang telah Tuhan gariskan untukku, tapi aku hanya ingin hidup lebih lama lagi, menyelamatkan orang yang sekarang tengah berada di ambang kematian karena ulah pria tua ini. Ya, dia ayahku. Dia adalah ayahku yang sesungguhnya, dia benar-benar ayahku. Pria yang mengalirkan darahnya di tubuhku, aku ingin menolak dan mengatakan ketidaksudian, namun kupikir ini sudah sangat terlambat.
"Aku harus menyebutmu anakku?" Pertanyaan yang tidak berguna. Aku ingin menjawab dengan nada menolak, tapi apa dayaku? Sekarang, aku bahkan tidak dapat mengangkat mulut untuk bersuara. Ke mana seluruh tenagaku?
Aku baru ingat, ia telah hilang termakan oleh luka yang tak berbekas."Kau itu tidak berdosa, namun nyatanya kau yang paling terluka. Dosa kedua orangtuamu dilimpahkan sepenuhnya padamu. Apa sekarang kau merasa bahwa Tuhan itu adil padamu?" Kalimat yang dengan hati-hati dan perlahan diucapkannya seketika menjepit telingaku, hatiku meronta, jiwaku marah, tanganku ingin melawan tapi dirikulah yang tidak memiliki kemampuan.
"Aku menyayangimu seperti seorang Ayah yang menyayangi anaknya." Dia terus saja membual seolah-olah aku adalah pendengar setia yang akan mengagung-agungkan dirinya karena bualan yang terus mengalir tak hentinya dari mulut yang dapat menghasilkan bisa yang lebih berbahaya dari ular. Dia menakutkan. Menatap matanya sama seperti berjalan di antara kegelapan; gelap, menyeramkan, juga membuatku terluka.
"Kau mau minum, Nak?" Dia menyodorkan aku secangkir minuman yang dibawanya tadi. Dengan nada yang memaksa, dia berulang-ulang kali menyodorkan minuman itu padaku. Masih digenggamnya dengan erat.
Aku mulai mengangkat tangan kanan, menerima secangkir minuman yang sedari tadi sangat ingin kuteguk, aku haus, tenggorokanku mulai mengering. Namun, saat tanganku telah hampir meraih minuman itu, seketika dia menjatuhkannya dengan sengaja. Seharusnya aku tahu, dia tidak akan berbaik hati memberiku minum meski hanya setetes.
"Bahkan untuk bisa mendapatkan hal yang berada sejengkal dari depan matamu, kau harus terluka lebih dulu bahkan merasa hina, lebih parahnya terinjak-injak!"
Aku tidak begitu mengerti dengan apa yang dia sampaikan, raut wajahnya menggambarkan kemarahan, kesakitan, kekecewaan, juga dendam yang semakin lama semakin menjalari tubuhnya.
"Kau darah dagingku, bahkan namamu adalah pemberian dariku," ucapnya merendah.
"Aku tidak pernah tahu apa pun tentang diriku, dengan menyakitiku seperti ini tidak akan membuatmu menemukan sesuatu yang kau cari," ujarku yang memandang tajam ke arahnya. Aku tidak takut menegaskan apa pun padanya, lagipula yang aku katakan adalah kebenaran. Tidak ada gunanya menyakitiku, karena aku tidak akan pernah bisa mengingatnya.
"Jika harapanmu menyakiti adalah untuk membuat ibuku sakit, maka kau salah besar! Menyakitiku tidak akan membuat siapa pun terluka, tidak akan membuat siapa pun bersedih. Sakit yang aku rasakan hanya milikku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Aku
Teen FictionSeberapa jauh kau akan berlari aku akan terus mengejar. Tidak perduli betapa sulit dan sakitnya itu akan tetap kulakukan. Kau bukan satu-satunya kebahagiaan yang aku punya tapi kau akan jadi satu-satunya di hatiku. Tetaplah di sini, memberiku senyum...