[ BAGIAN V ]
Sooyeon pov.
Annyeong !
Alisku mengerut melihat pesan singkat yang dikirim oleh nomor yang tak berada dalam kontak ponselku. Jemariku mengetikkan beberapa kata sebagai balasan.
Siapa ini ?
Tidak kusangka, balasannya sangat cepat hingga tak memberikanku waktu untuk membuang fokusku pada ponsel.
Seorang tampan yang melindungi pagimu kemarin
Bibirku perlahan menarik simpul untuk membentuk sebuah senyuman. Oh tidak ! Aku baru saja tersenyum sendiri hanya karena sebuah pesan.
Luhan ? Kau belum tidur ?
Pandai sekali kau menebak.
Tadinya begitu. Tapi secarik kertas menghalagi diriku untuk memasuki alam mimpi lebih awal. Di atas kertas itu, nomor ponselmu tertulis di sana. Aku ingin tahu apa yang kau lakukan sekarang. Bolehkah aku ?Aku tersenyum membaca tiap kata yang ia tulis. Pesan terakhir yang Luhan kirimkan begitu panjang hingga rasanya aku membuang banyak waktu untuk sekedar membacanya berulang kali.
Aku hanya sedang mempelajari beberapa pelajaran pagi tadi. Sekarang aku akan bertemu Tuan Mimpi. Sebaiknya kau juga begitu, Luhan-ah
Baiklah. Kuharap kita bertemu di mimpi nanti.
Aku tidak tahu Luhan tengah menggodaku atau hanya sekedar bahan sebuah canda. Jelas yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum tanpa mengetikkan sebuah balaaan. Takutnya, aku tak jadi menunaikan untuk bertemu dengan sang Tuan Mimpi.
⏳
Mataku menatap heran pada jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka 5. Sementara tangan kiriku terus menggosokkan handuk pada rambut basahku, tangan kanan aku gunakan untuk menyibak tirai jendela dimana mentari pagi belum juga datang di luar kamarku.
Aku membatin sendiri, ada apa dengan diriku ?
Ibu dan Ayah bahkan tidak masalah lagi dengan kebiasaan bangun tidurku yang selalu terlambat. Bahkan di usia yang hampir menginjak tujuh belas tahun, aku masih saja terus dibangunkan oleh Ibu.
Namun untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku membuka mata sendiri tanpa ada yang menyuruh. Meski mimpi semalam begitu indah hingga rasanya aku tidak ingin bangun, namun sesuatu membuatku semangat untuk menjalani hari-hariku lagi.
Mungkin, kali ini aku akan bisa bahagia melebihi indahnya mimpi semalam.
"Sudah bangun, Sooyeon-i ?"
Aku menoleh ke belakang sebelum sempat membuka pintu depan. Di sana ada Ayah yang tengah memakai fantofelnya. Bibirku tersenyum kaku dan mengangguk dengan pelan, menjawab pertanyaannya.
"Aku ingin keluar sebentar. Setidaknya udara subuh pagi masih kuat, dan aku ingin menghirupnya sesekali."
"Em." Ayah menganggukkan kepalanya seakan paham dengan perkataanku. "Ayah juga heran karena kamu bahkan sudah berkeramas. Setelah selesai, jangan mampir kemana-mana dan langsung pulang. Kita sarapan pagi bersama."
"Baik, Ayah." Aku membungkuk dan berbalik membuka pintu.
Bibirku tersenyum memandang jauh di depan mataku yang tengah menyuguhkan surga yang telah lama tidak aku lihat. Mentari yang masih malu menampakkan kehangatannya, berlindung pada lembayung awan gelap yang sedikit membuatku menggigil. Semilir angin seakan mengingatkanku untuk mengeratkan kembali jaket tebal yang kupakai.