3. Ponsel Arina

68 9 0
                                    

Terkadang rasa penasaran hanya akan menjerumuskan.

~

Suara musik dengan lagu perfect memenuhi sebuah ruangan yang cukup luas untuk disebut sebuah kamar. Ruangan dengan cat putih itu terbilang cukup rapi untuk ukuran kamar cowok. Salah satu sisi dinding terdapat motif doraemon yang tentunya didominasi warna putih dan biru.

Entah mengapa cowok itu suka dengan doraemon hingga kamarnya di penuhi dengan barang - barang bermotif doraemon. Dia Raka Ferdiandaru. Remaja yang baru saja naik kelas XI.

Raka sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya. Dia begitu menikmati setiap lagu yang sedang ia putar dengan memejamkan matanya.
Sesekali dalam pikirannya terlihat bayang - bayang kejadian tadi siang.

Raka tidak menyangka dirinya begitu gugup saat Arina mendekat.

Raka membuka matanya yang sejak tadi ia pejamkan namun tidak terlelap itu. Raka bangun dan meraih tasnya mengambil benda yang dia ambil saat kejadian tadi.
Raka menyalakan handphone itu. Dan dengan mudah ia dapat membukanya karna tidak di sandi atau dipola sama sekali.

Bodoh sekali.

Tanpa ada rasa berdosa Raka pun mulai membuka beberapa aplikasi. Ia memang sangat lancang mungkin. Raka membuka aplikasi instagram. Arfiana_. Dengan iseng Raka mencari nama akunnya dan menekan follow.

Tak berhenti disitu saja Raka membuka galeri. Dan sempat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tidak ada banyak potret diri seorang Arina. Jika ada, mukanya tidak terlihat. Disana hanya ada beberapa foto temannya. Sebuah pemandangan pantai dan puncak Bogor. Namun ada dua foto yang membuatnya lebih terkejut.

Foto pertama, ada Arina dan Dhea yang sedang berjalan di koridor yang dikerumuni banyak siswa.

Foto kedua, potret Arina yang sedang memasukkan bola basket ke dalam ring dengan jump shoot.

"Gilaa!"

"Siapa yang gila, kak?" sosok laki-laki dengan kaos oblongnya menghampiri Raka.

"Lo yang gila."

"Dih, nggak kebalik apa?" Rafa hanya mengedikkkan bahu terheran dengan kakaknya.

"Itu pacar lo, ya?"

"Tau apa lo soal pacar?" Raka kemudian terkekeh dan menjitak kepala adiknya sampai si pemilik kepala meringis kesakitan.

"Dasar kakak biadap!"

"Eh punya adik kok, nggak sopan gini, ya?" Raka malah menarik kaos oblong Rafa kuat-kuat saat adiknya itu akan beranjak dari kasur. Hingga membuat Rafa terjungkal kembali ke kasur.

"Apaan, sih. Gue jadi berasa punya kakak bocah."

"Lo kali masih bocah,"

"Biarin."

"Eh mau kemana lo?" Rafa ikut beranjak pergi ketika Raka keluar dari kamar.

"Wiihh, enak nih. Buat gue ya? Sebagai ganti karena lo udah nggak sopan sama gue." Raka mengambil sekotak coklat dari dalam kulkas yang diyakini milik adiknya.

"Eh, lo apaan sih? Jangan ambil coklat gue." Rafa pun berusaha merebut kembali makanan favoritnya.

"Sekali-kali apa bagi coklat sama gue?"

"Nggak! Gue nggak ikhlas beli aja sendiri!" usahanya belum berhasil.

Suara klakson mobil menghentikan candaan mereka. Raka mengambil kesempatan itu untuk kabur menuju ruang tengah.

"Awas ya lo! Gue aduin ke papa. Bocah!" teriaknya sudah terlanjur emosi. Rafa ini sangat mencintai yang namanya coklat sejak kecil.

"Lo yang bocah," teriakan Raka terdengar.

"Ya wajar gue aja masih kelas 3 SMP, lah lo?!" Rafa memutar bola matanya malas.

Seorang paruh baya pun datang dan meminta tas kerja yang di bawa Firman. Dia bi Imah. Asisten rumah tangga yang selalu mengurusi anak - anak Firman.

"Pa! Raka tuh kayak bocah." Rafa mulai mengadu dengan papanya.

"Yang sopan, dong, Raf. Masak kamu panggil kakak kamu namanya aja?"

Raka hanya menjulurkan lidah di seberang sana.

"Coklat kamu diambil lagi? Ya udah tinggal beli kenapa susah?" tanya papanya.

"Gampang ngomong gitu, itukan uang jajan aku." Rafa semakin menekuk wajahnya.

"Nanti papa kasih uang." empat kata itu berhasil membuat Rafa tersenyum sumringah.

"Lo nggak boleh minta!" ucap Rafa sarkas.

Sedangkan Raka hanya menjulurkan lidahnya.

Firman tersenyum melihat dua jagoannya.

"Makasih, pa. Selalu pulang lebih awal untuk meluangkan waktu untuk kita." ucap Raka tiba - tiba dan tersenyum pada papanya yang dibalas dengan pelukan hangat.

°°°°

Arina memasuki rumah mewah miliknya. Walau dikatakan mewah, percuma saja karena di dalamnya tak ada penghuni satupun. Hanya ada dirinya.
Kesunyianlah yang selalu setia menemani Arina di rumah.

Hidup dengan mamanya, Arina merasa sangat kesepian. Mamanya adalah wanita karir yang sangat menggilai kerja.

Arina tidak peduli seberapa banyak harta yang dihasilkan mamanya. Dia hanya ingin melihat mamanya ada disaat Arina pulang sekolah.

Arina bahkan tidak menginginkan adanya pembantu. Bukan apa - apa. Sebenarnya dia ingin mamanya lebih perhatian dengannya.

Arina tidak masuk ke kamarnya. Melainkan menuju ruangan disebelah dapur, tempat itu berisi mesin cuci yang ada pengeringnya. Dia mengeluarkan jaket milik Raka dari tasnya. Dan mulai memasukkan di mesin cuci.

"Ar, lo dimana?" suara itu terdengar memenuhi rumah Arina.

"Deket dapur." sahut Arina

Dhea tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat Arina.

"Cuci baju sendiri, neng?"

Arina hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban.

"Lo cuma nyuci satu baju? Jaket Raka?"

"Hem,"

"Terserah lo, deh. Hp lo gimana? Nggak lo ambil tadi?"

"Nggak."

"Hah, kok bisa? Pasti itu hp nggak lo password, kan?"

"Nggak. Tau sendiri gue gimana."

"Ar! Lo gimana, sih? Entar kalau di hp lo ada jejak kita di SMA Damai gimana? Terus usaha kita buat jadi siswa normal gagal hanya dalam sehari? Ya Allah, Ar." Dhea mengelus dadanya tak habis pikir dengan apa yang di lakukan Arina.

"Itu isinya cuma lagu."

"Beneran? Nggak ada chat dari fans - fans lo?"

"Nggak. Itu semua ada di hp satunya."

"Hufh, syukur kalau gitu." Dhea kembali mengelus dadanya lega.

Jangan lupa kasih dukungan dan komen. Aku membutuhkan kritik dan saran. Terimakasih.

AquecerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang