14. Bolos Bersama

38 4 8
                                    

Jika saja waktu
tidak cepat berlalu
aku ingin berbicara
denganmu tanpa jeda


"Tapi gue mau bantu." katanya tak lupa sambil tersenyum.

Raka tak menunggu jawaban dari Arina. Ia langsung melakukan pekerjaannya. Mengepel lantai di dekatnya. Sedangkan Arina masih memejamkan mata di bangku panjang itu. Tak peduli dengan Raka.

"Lo nggak takut sama bu Rinta?" untuk membunuh kesunyian Raka mencoba bertanya.

Arina masih diam. Tidak tahu juga Arina mendengarnya atau tidak karena sedang menggunakan earphone. Karena tidak ada jawaban, Raka mendekati Arina.

"Ar? Lo dengar nggak?"

Arina masih sama. Diam. Matanya terpejam.

"Ar! Kenapa cowok seganteng gue lo campakin, sih?" Raka jadi gemas sendiri melihat Arina yang tak bereaksi.

"Ya sudah gue ngomong sendiri aja."

Raka mulai mengepel membelakangi Arina. Ia mencoba untuk menyusun kalimat. Mencari bahan bicara yang bukan pertanyaan. Karena Arina tidak akan menjawab. Apa dia harus mendongeng saja. Tidak. Kenapa disaat seperti ini Raka berpikiran sempit.

"Bu Rinta emang gitu orangnya. Galak. Padahal dia guru baru menggantikan guru musik kami yang lama. Nggak tahu kenapa sekolah mau aja menerima guru seperti bu Rinta." karena bingung, Raka jadi membahas bu Rinta.

Sejatinya Arina tidak benar benar mendengarkan musik yang ia putar, melainkan ucapan Raka. Ia menunggu kelanjutan cerita Raka. Ia ingin tahu apa yang terjadi.

"Padahal kami sudah nyaman dengan guru lama. Meski dia bukan guru tetap di SMA Binbang, dia selalu mengajar dengan baik. Gue jadi sedih kalau ingat dia. Gue rindu. Yah, gue jadi melow." ya, Raka tidak bohong perihal guru lamanya.

Tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, Arina mengajukan pertanyaan. "Dia juga guru di SMA lain?" Arina tidak lagi berbaring.

Raka tak menyangka membahas guru musiknya akan membuat Arina berbicara. "Bukan, yang gue tahu dia seorang dosen juga."

Arina sebenarnya benci basa basi. Namun, apa boleh buat ia harus melakukan dengan perlahan. Ia ingat pesan Algan untuk tidak gegabah. Tenang Arina.

"Seberapa kenal lo sama guru itu?"

Raka menghentikan gerakan mengepelnya, "Sepertinya lo begitu tertarik dengan guru musik gue? Ada apa, Ar?" Raka melihat raut berbeda dari Arina.

"Nggak juga." Arina bangun dan melepas earphone nya.

"Lo mau temenin gue bolos sampai jam terakhir, nggak?" Arina pikir tidak ada salahnya mengajak Raka bolos dengannya. Setidaknya akan ada yang berbicara walaupun tidak tahu apa dia bisa menanggapi semua omongan receh Raka.

Raka tak percaya mendengar kalimat itu dari Arina. "Lo serius?" Ia seolah takjub sampai lupa apakah ia masih berpijak di bumi atau tidak.

_AR_

Mereka mulai berjalan menyusuri koridor koridor yang sepi karena memang saat ini jam belajar.

Seandainya Raka punya doraemon pasti dia sudah meminta pintu kemana saja. Dia akan membawa Arina kemana saja agar bisa mengenal Arina lebih jauh. Seandainya Raka punya doraemon dia akan meminta alat untuk membaca pikiran Arina. Karena Raka ingin tahu apa saja yang diinginkan Arina, Raka akan memenuhi.

Mungkin berlebihan, tapi percayalah hayalan itu berputar di otak Raka yang minim.

Raka menoleh ke samping melihat Arina yang begitu tenang menikmati setiap langkahnya bersama alunan musik yang didengarnya.

"Seandainya doraemon itu nyata." tanpa sadar apa yang ada di otaknya Raka ucapkan.

"Gue akan pinjam mesin waktunya." sahut Arina tanpa menoleh, pndangannya masih lurus ke depan.

"Apa lo mau lihat masa depan lo? Kalau gitu, sama. Gue mau lihat perempuan seperti apa yang berhasil meluluhkan hati gue. Ah, gue juga mau lihat adek gue masih suka sama cokelat atau nggak. " katanya sambil terbahak.

"Gue pengen balik ke masa lalu." ya, Arina ingin mengulang waktu dimana keluarganya masih utuh. Penuh kehangatan bersama papanya. Bukan seperti sekarang yang penuh kekosongan.

Ada tatapan sendu di mata Arina. Sampai Raka tersadar bahwa selama ini Arina sedang tidak baik baik. Ia menggentikan langkah Arina seraya memegang pundak permepuan itu.

"Jangan kembali ke masa lalu, Ar. Sesakit apapun atau bahkan masa lalu lo lebih baik dari hari ini, tetap jangan. Karena masa lalu untuk pembelajaran bukan untuk diulang."

_AR_

Saat ini Raka dan Arina berada di rooftop. Mereka menikmati panasnya matahari disiang hari dan semilir angin yang tertiup.

"Lo, nggak pernah bolos?" kali ini Arina berbicara terlebih dahulu.

"Pernah. Waktu itu sama Nando di kantin. Tapi baru juga mi ayam pesenan datang, guru BP datang. Jadinya, kita malah dihukum." Raka terbahak mengingat kejadian itu dimana mereka masih kelas X.

"Waktu itu kenapa lo ngambil handphone gue?" padahal kejadian itu sudah seminggu yang lalu. Arina baru menanyakannya sekarang.

Raka masih terbahak sebelum berhenti untuk menjawab dengan santai.

"Cuma iseng."

"Maaf gue nggak sopan." lanjutnya.

Arina ingin bertanya lagi, kalau saja tidak mendengar derap kaki yang menapaki rooftop. Dan suara lantang yang memekakkan telinga.

"Kalian ngapain? BOLOS?"

"Hai, abang Alganteng. Lo juga ngapain disini? Bolos jugakan?" Raka mengeluarkan jokesnya.

"Lo ngapain  berduaan sama kutu monyet macam dia?" Algan kesal manisnya hilang. Nggak ada lagi pencitraan kalau di depan Raka.

Raka justru cengengesan, "Abangku sayang, walaupun gue kutu monyet tetap aja gue cute. Ya kan, kan?" Raka mengedikkan sebelah matanya yang membuat Algan bergidik.

Sementara Arina tidak menanggapi apapun. Justru meninggalkan mereka berdua begitu saja. Saat Algan dan Raka berhenti cekcok Arina sudah menapaki tangga untuk turun ke bawah.

"Lo sih, Arinanya jadi kabur. Lo ganteng ganteng payah, ganggu momen aja." Raka menyusul Arina cepat.

Sebelum Raka menggapai Arina terlebih dahulu, Algan mendahuluinya.

"Ar, gue mau ngomong sama lo. Ini menyangkut papa." tentu saja dengan berbisik.

" tentu saja dengan berbisik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Algan


Tadinya dibawah sini, mau melow, tapi nggak jadi. Wkwkw

Gue seneng, arrrghhh.

See you

AquecerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang