Chapter 12

266 23 1
                                    

Keesokan harinya, aku masuk sekolah kembali seperti biasa. Di kelas, aku melihat Davin di kursinya. Davin masih duduk di kursi paling belakang, padahal depan mejanya kosong, bekas tempat duduk aku dan Gita yang sekarang pindah.

Aku masih tidak bisa move on dengan kejadian kemarin, aku tidak menyangka bisa memeluk Dion seerat itu. Entah kapan aku bisa seperti itu lagi? Mungkin saat aku ke LA nanti, hehe.

Jam ketiga, seharusnya pelajaran kimia, Pak Hans, tetapi ia absen, jadi kita free class. Di kelas, anak-anak lain berisik dan AC di kelas juga tidak terlalu dingin. Akupun keluar dari kelas dan berdiri di balkon. Karena model sekolahku seperti huruf O, tetapi bentuknya persegi, jadi aku bisa melihat sekeliling sekolah ini. Namun, aku hanya terfokus dengan tengah lapangan. Entah apa yang menyebabkan aku teringat kembali dengan tengah lapangan. Biasanya aku diam-diam melihat Dion dari lantai 2 atau lantai 3 saat ia sedang bermain futsal di tengah lapangan bersama teman-temannya saat eskul futsal atau jam olahraga. Padahal, kelas dia yang sedang olahraga, tetapi aku yang sering izin keluar kelas untuk cabut ke lapangan, hahaha. Sering terlintas di pikiranku, kok aku bisa ya mendapatkan seorang Dion yang high class, sedangkan aku mah apa sih. Dulu Dion sangat dingin kepadaku, tetapi mengapa sekarang ia seperti tergila-gila kepadaku. Sepertinya ia benar-benar serius kepadaku, tetapi aku? Sayang sih, hanya aku tidak terlalu terobsesi sampai pernikahan.

Seseorang menepuk pundakku dari belakang membuat pikiranku buyar. Aku menghadap ke belakang tepat orang itu menepuk pundakku. Ternyata orang itu adalah Davin. Ia membawakanku sesuatu sambil tersenyum manis. Ada apa dengan dia? Dia mau apa lagi? Katanya dia tidak ingin membuatku baper, tetapi dia masih bertingkah seperti ini.

"Kemarin gua ke Bandung, ini gua beliin gelang. Pake ya." Davin memberikanku gelang warna hijau polos.

Karena aku masih menghargai, ya aku terima saja. Walaupun ia sendiri tidak bisa menghargai perasaanku.

"Di sini boleh pake gelang kok sama kakak kelas, haha." ledek Davin.

"Gue masih bingung sama lo, Vin. Lo bilang gue jangan baper nanti lo diapa-apain sama Otar, tapi kok lo masih berani deketin gue?"

"Karena sayang."

Satu kata yang membuat jantungku seakan berhenti sejenak. Tolong jangan bilang kata itu! Jangan pernah membuat perasaan itu muncul lagi.

"Haha apa sih." ujarku salting.

"Lu udah tanya Dion yang kemarin pengen lu tanyain?"

"Belom lah, ngapain."

Sebenarnya karena lupa sih.

"Dikirain udah tanya."

Davin semakin mendekat kepadaku sambil tersenyum sendiri.

"Apa sih, Vin." tolakku menjauhinya.

Davin terdiam di tempat, ekspresi mukanya berubah murung.

"Kayaknya lu emang udah kesel banget ya sama gua? Maafin gua ya, mungkin dulu gua keterlaluan banget. Harusnya gua mikir perasaan lu juga, gua cuma mikirin perasaan gua. Harusnya kalo emang gua sayang, ya gua perjuangin. Walaupun lu udah punya pacar." sesalan Davin dengan nada sedih.

"Emang gak ada cewe lain ya, Vin?"

"Banyak, tapi ya lo pasti tau lah." Davin menatap mataku.

Aku membuang muka dan menghadap ke tengah lapangan 'lagi'.

"Oke, terus sekarang lo mau apa?"

The DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang