Aku hanya menunduk dan merasa sangat bersalah telah menyakiti seseorang yang sangat menyayangiku. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Davin merangkulku, membuatku refleks menyandarkan kepalaku di pundaknya dan menangis.
"Semoga ada hikmah dibalik ini semua ya, kamu yang sabar." Davin menenangkanku sambil mengelus rambutku.
Ya, aku harus terima keputusanku meskipun itu salah. Aku harus bisa melewati ini supaya hidupku kembali normal.
Jam 6 sore, aku masih di kamar Davin sambil nonton TV. Lalu azan maghrib berkumandang dalam layar TV.
"Kamu salat dulu, Na."
"Emang ada mukenanya, Vin?"
Davin berdiri dari kasur dan menggandeng tanganku lalu berjalan ke suatu tempat keluar dari kamarnya. Kami masuk ke suatu ruangan yang agak gelap. Davin menyalakan saklar lampunya. Terlihat lah semua yang ada di dalam ruangan itu. Di ruangan itu ada 2 rak buku yang saling bersebrangan. Di sebelah kiri ada Alkitab, kalung salib, jas, dan topi natal, sedangkan di sebelah kanan ada Alquran, tasbih, mukena, dan kerudung.
"Yang sebelah kiri punya aku dan keluarga aku, yang sebelah kanan punya mama tiri aku. Kamu pake aja mukena mama aku."
Entah mengapa aku merasa tentram. Tante Alissa adalah orang Islam sendiri di keluarga ini, tetapi ia tetap diperlakukan adil, tidak ada kata rasis yang muncul dipikiranku sama sekali setiap aku berkunjung ke rumah Davin. Aku jadi ingin menjadi salah satu dari bagian keluarganya.
Aku sholat di kamar Davin karena di sini tak ada mushola khusus untuk sholat, sedangkan Davin duduk di kasurnya sambil menungguku selesai sholat. Sehabis sholat, aku berdoa, supaya ini adalah jalan yang terbaik untukku. Setelah itu aku duduk di kasur Davin dan kembali nonton TV.
Tiba-tiba, neneknya Davin membuka pintu kamar Davin. Nenek Davin bersender di pintu kamar Davin.
"Nak, ada yang mau ketemu."
Aku dan Davin turun dari kasur dan keluar dari kamar.Ternyata di ruang tamu sudah ada Otar dan teman-temannya. Otar melihat ke Davin dan langsung menghampiri Davin. Aku takut terjadi apa-apa lagi, makanya aku selalu ada di samping Davin. Tiba-tiba, Otar memeluk Davin dengan penuh penyesalan.
"Vin, gua minta maaf banget, Vin. Maaf banget, gua salah banget sama lu. Gua salah percaya sama orang, harusnya gua ngelindungin lu, tapi gua malah sebaliknya. Maafin gua ya, gua nyesel banget."
"Iya gak apa-apa, kan lu juga gak tau."
Indahnya persahabatan. Mengapa Otar tidak seperti ini saja dari dulu. Dion memang merusak hubungan pertemanan Davin dan Otar.
Lalu, Otar berdiri di depanku.
"Na, gua minta maaf ya, udah buat lu risih. Udah mata-matain lu terus. Mungkin jalan terbaiknya adalah lu putus sama Dion. Sekali lagi maafin ya, gua gak mau lagi deh kalo disuruh-suruh Dion buat mata-matain lu"
"Iya, Tar. Selow."
Akhirnya kami saling bermaaf-maafan.
2 jam kemudian, sudah jam 8 malam. Papa sudah menyuruhku pulang, padahal aku masih seru memandang indahnya kebersamaan yang baru saja muncul kembali. Otar mengantarkanku pulang karena Davin belum bisa membawa motor.
Sesampainya di rumah, aku masuk kamar. Aku tiduran di kasur sambil bermain ponsel. Ada pesan masuk dari Dion.
· "Oke, An. Mulai sekarang kita udah jadi teman biasa. Makasih loh atas 6 bulan kurang 4 hari lagi. Semoga kita bahagia meski kita udah gak bersama."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Difference
Novela Juvenil[Part 1] [Part 2 sudah selesai] [Part 3 sudah selesai] Jadi, kamu lebih memilih yang beda agama atau beda negara?