Chapter 1

1.2K 51 0
                                    

Sekian lama, aku hanya bisa mengatakan sesuatu lewat salah satu media sosial di ponsel setipis kertas ini. Zaman memang sudah semakin modern, saking modernnya, sosialisasi hanya ada di dalam ponsel, bukan dunia nyata. Aku tidak bisa mengatakan apapun saat raga kami bertemu, rasanya perasaan aku dan dia hanya ada di dalam layar ponsel. Sangat dekat di ponsel, tetapi sangat jauh di dunia nyata. Bukan, bukan raga kami yang berjauhan, tetapi jiwa kami. Raga berada di sekolah yang sama, tetapi jiwa ada di alam yang berbeda.

Suatu hari saat kelas kosong, aku tersenyum seorang diri karena melihat layar kaca ini yang merupakan obrolanku dengan si "Dia". Aisyah sebagai teman dekatku mengintip layar ponsel ini dengan wajah yang penasaran.

"Ngapain pagi-pagi udah senyum sendiri? Pasti Dion ya?" ledeknya menunjukku.

"Ih, Aisyah pengen tau aja deh." senyuman malu terlihat di bibirku.

Aku memasukan ponselku ke dalam laci dengan segera.

"Ya elah, Na. Udah 3 bulan kali lo chat terus sama dia tapi gak jadian-jadian."

"Ya emangnya kalo chat terus harus jadian?" bantahku dengan nada sedikit marah.

"Ya iya sih...."

"Dion itu orang yang tepat menurut gue. Mukanya? Lumayan banget. Otaknya? Cukup pinter, apalagi bahasa Inggrisnya. Alim? Lumayan kok. Cocok lah buat jadi imam haha."

"Aduh khayalannya tinggi banget sih, Mba. Haha."

Walaupun aku tau, memilikinya adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan, tetapi apa salahnya memiliki keinginan? Toh, semua orang juga memiliki keinginan masing-masing.

Istirahat pertama, aku dan Aisyah pergi ke kantin. Mataku tertuju kepada seseorang yang memiliki jambul, putih, tinggi, hidung yang mancung yang sedang berdiri dan bersandar di tembok, menekukan satu kakinya di tembok dan meminum air dalam botol. Rasanya aku ingin menjadi botolnya, hahaha. Siapa lagi kalau bukan Dion. Mataku seperti gembok yang kehilangan kunci, tak bisa berpindah walaupun langkah ini sudah melewati bayangannya. Melewati seorang Dion seperti melewati kepala sekolah, ya mungkin memang dia akan menjadi kepala keluarga kita nanti, hahaha. Rasanya ada yang menahan jika kaki ini ingin berlari dan ada yang mendorong jika badan ini mengatakan untuk berhenti. Jadi serba salah dan kadang membuatku salah tingkah.

"Diana." sapa seseorang yang namanya selalu ada di dalam 17 rakaatku.

"Ha- hai." balas sapaku dengan gugup dan senyuman kecil.

Hanya sekedar sapa dengan nama, tetapi membuat jiwaku serasa di langit ke tujuh. Memang ya, media sosial hanya untuk pelengkap, hal pokoknya ya ini, bertemu, saling sapa dan ngobrol bareng. Walaupun aku dan dia belum pernah ngobrol bareng.

Bibir ini berusaha menahan senyum sampai aku masuk kelas. Di kelas, barulah pertunjukan sirkus muncul, tiba-tiba saja kakiku mengeluarkan per yang tak berhenti berloncat sambil tersenyum dan sedikit teriakan bahagia. Selalu seperti ini setiap aku lewat di sampingnya, di depannya, pokoknya papasan dengannya. Aku sangat berharap ini akan terus berlangsung. Sayangnya, itu tidak mungkin karena sebentar lagi kami lulus. Semoga kami tetap akrab walaupun tidak berada di satu atap gedung yang sama.

Yah, itulah aku. Nama asliku adalah Putri Diana Lestary Ayufatma. Siswa kelas 9 SMP yang sebentar lagi UN. Aku adalah tipikal cewek yang tomboy dan nyablak, tetapi semenjak aku suka dengan Dion, aku berubah menjadi cewek feminim yang suka menggerai rambut panjang yang hitam, memakai rok di luar sekolah, juga memakai baju yang memang girl style bukan sekadar kaos dan jeans. Papaku adalah orang yang taat beragama, sedangkan mamaku adalah orang yang realistis. Mama adalah ibu rumah tangga, sedangkan papa kerja sebagai karyawan swasta di suatu perusahaan. Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Semua kakak perempuanku berhijab, hanya aku yang tidak berhijab di dalam keluarga. Aku pernah berjanji kepada keluarga dan teman-temanku, seandainya ada seorang cowok yang bukan keluargaku pernah mengajakku sholat dan menjadi imam, maka aku akan memakai hijab. Sayangnya, sampai sekarang belum ada, Dion masih menduduki rating paling atas yang aku inginkan untuk menjadi sosok imamku.

The DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang