Orang tuaku akhirnya masuk ke halaman rumah dengan menaiki motornya. Aku masih dalam keadaan berlinang air mata di luar rumah, sendirian! Mereka melihat putrinya yang sedang terpuruk ini lalu berlari menghampiriku dan bertanya ada apa denganku. Namun, aku belum bisa menceritakan apa yang telah terjadi. Lidahku masih kelu dan bibirku masih terbata-bata. Aku hanya memeluk mama dan papaku. Mereka membawaku masuk ke dalam rumah, kami bertiga duduk di sofa. Aku bersandar di bahu mama, ia mengusap rambutku. Suasana hening, mereka belum berani bertanya sebelum aku tenang dan akhirnya bercerita.
"Tadi ada orang jahat nyamperin aku, aku takut. Di rumah juga gak ada orang. Aku dikejar sama dia dari sekolah, terus dia bilang jangan teriak. Aku gak tau maksud dia apa. Terus tiba-tiba dia pergi gitu aja dan aku masih takut sampe sekarang."
Aku tidak mengerti dengan diriku yang secara refleks bercerita bohong kepada mama dan papa. Aku masih belum percaya dengan alasan Davin, aku masih ingin bertemu dengan dia.
"Siapa orang jahatnya? Kamu kenal ciri-cirinya gak?"
"Udah! Kita laporin aja ke polisi!" sambung papa super marah.
"Jangan, dia gak bermaksud apa-apa. Lagi pula aku juga gak tau dia gimana, dia pake helm."
"Kok gitu sih? Terus motif kejahatan dia apa?"
"Udah, Pa. Dia juga udah gak disini. Kalo dia ganggu aku lagi aku pasti bilang. Udah, sekarang kita berdoa aja supaya dia gak ganggu lagi."
Aku hanya menunduk. Aku bingung harus beralasan apalagi supaya mereka percaya kepadaku.
"Ya udah deh kalo kayak gitu."
Papa pasrah lalu meninggalkan aku dan mama. Mama memelukku erat dengan penuh kekhawatiran.
Maaf banget ya, Ma, Pa. Aku berbohong lagi. Aku tidak ingin mengambil keputusan saat sedang marah, kesal, atau sedih.
Aku mencuci wajahku lalu pergi ke kamar. Aku membuka pemberitahuan yang ada di layar ponselku.
· "Hallo, An. Good after noon."
Ini dia, orang yang mungkin paling kecewa di antara yang lain. Aku sangat mengecewakan Dion jika ia tau. Namun, aku tak bisa menutupi semua kesalahan ini. Aku ingin mengungkapkan semua kesalahanku kepada Dion. Aku melakukan panggilan video dengan Dion.
"Hallo, Diana. Ada apa video call aku?"
"Dion...."
Baru sepatah kata yang keluar dari mulutku saja aku sudah meneteskan air mata.
"Kenapa, An? Kok kamu nangis? Tell me."
"Dion aku mau meluk kamu."
"Oh my God, Diana. Kalo bisa aku juga mau meluk kamu. I miss you so bad."
"Yeah, I miss you too. Tapi ada yang lebih penting yang mau aku kasih tau kamu."
"What's that?"
"Aku minta maaf, On."
Nangis lagi....
"Minta maaf kenapa? Kamu salah apa sama aku?"
"Aku minta maaf banget, belakangan ini aku sering cuekin kamu, aku sering abaikan kamu. Aku minta maaf banget ya. Itu semua aku khilaf, aku salah."
"Yeah no problem, Diana. Aku tau kok urusan kamu bukan aku doang. Jadi aku wajarin."
"Iya, tapi waktu itu...."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Difference
Teen Fiction[Part 1] [Part 2 sudah selesai] [Part 3 sudah selesai] Jadi, kamu lebih memilih yang beda agama atau beda negara?