"Gua sih yakin lu gak akan percaya, tapi gua cerita jujur. Demi Tuhan gua jujur. Lu pernah mikir gak sih kenapa gua ngedeketin lu dan ngincer lu banget, sedangkan gua pengen balikan sama Gita? Kenapa gua sering ngelakuin hal yang bikin lu baper padahal gua gak pengen lu baper?" Davin menatapku dengan berusaha meyakinkan.
"Emangnya kenapa?"
"Ya gua tanya aja. Menurut lu masuk akal gak kayak gitu?"
"Gak." jawabku jutek.
"Jangan jutek dong plis, ini gua lagi serius banget."
"Ya udah iya, Davin. Kamu mau cerita apa?" jawabku dengan nada sok lembut dan mengubah posisiku menghadap Davin.
"Gini ya, tadinya gua deket sama Otar. Tapi Otar lebih deket sama Dion, pacar lu sejak SMP, ya kan? Nah lu itu mikir gak sih kenapa tiba-tiba gua berubah banget? Pertama itu pas kita mau ngumpulin tugas ke ruang guru dan kita ketemu Otar di jalan. Muka dia langsung sinis kan sama gua? Nah, pas gua keluar kelas, gua gak ke ruangan agama, tapi gua dipanggil sama Otar ke belakang lorong deket BK dan gua udah ditegor jangan deketin lu lagi, itu perintah dari Dion. Terus gua jadi cuekin lu terus kan? Cuma pas abis eskul aja gua gak tega liat lu sendiri. Gua diancem bakal dilabrak kalo lu ketauan suka sama gua. Terus kata Otar, lu ngomong sama Dion tentang lu suka sama gua. Jadi, gua kena sama Otar dan temen-temen basisnya. Makanya waktu itu gua masuk lemes banget dan banyak memar." penjelasan panjang kali lebar dari Davin sontak membuatku tercengang dan tidak percaya.
Aku percaya Dion takkan melakukan itu, untuk apa Dion melakukan sesuatu yang tidak penting hanya untuk itu? Dion selalu bilang tidak masalah ketika aku bercerita.
"Tunggu, maksud lo, lo bilang Dion itu jahat?"
"Dia gak jahat. Dion emang sayang sama lu, tapi dia gak bisa ngehargain perasaan orang lain yang suka sama lu." ujar Davin dengan ekspresi kesal.
"Vin, lo tuh maunya apa sih? Dateng-dateng bilang kayak gini. Gue selalu terbuka sama Dion karena dia selalu bilang gak papa. Gue juga selalu cerita kalo ada masalah."
"Dia pernah gak ceritain masalah dia di sana? Pernah gak?" pertanyaan Davin menjebak.
Dion memang tidak pernah bercerita tentang kehidupannya di sana, tetapi aku yakin dia baik-baik saja di sana.
"Kenapa lo mau ngedeketin gue tapi lo gak mau gue baper sama lo?"
"Ya karena Otar tadi. Ya udah lah, lagipula kita gak bisa bersama kan?"
Perkataan Davin sontak membuatku kaget. Maksudnya gak bisa bersama itu apa ya?
Suasana mendadak menjadi hening lagi.
"Nanti gue tanya sama Dion pas dia pulang ke Jakarta. Sekarang lo pulang dan makasih atas infonya." ujarku berdiri dan meninggalkan Davin sendiri di luar rumah.
Aku masuk ke dalam kamar dan berjalan menuju jendela di samping kasur. Aku melihat Davin masih duduk sambil bermain ponselnya dengan ekspresi sedih. Maaf ya, Vin. Perkataanmu belum bisa diterima oleh akalku, apalagi hubungan kita yang semakin retak ini.
Tiba-tiba, Davin mengangkat telepon dan berbicara lewat ponselnya, aku membuka sedikit jendela kamarku agar terdengar apa yang ia bicarakan.
"Hallo? I, iya iya bentar. Lagi jalan sama mama gua."
"Iya, serius kok. Bentar doang, tempat biasa kan? Oke."
Ia mematikan teleponnya dan memasukan ponselnya ke dalam kantong celana. Ekspresinya menjadi gelisah. Tak lama kemudian, ia pergi naik motornya dari rumahku. Aku jadi penasaran siapa yang menelpon Davin tadi? Mengapa Davin menjadi gelisah saat berbicara dengannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Difference
Teen Fiction[Part 1] [Part 2 sudah selesai] [Part 3 sudah selesai] Jadi, kamu lebih memilih yang beda agama atau beda negara?