Chapter 9

263 20 0
                                    

Aku sengaja mengungkapkan yang sebenarnya bahwa Davin memang nonmuslim. Aku lelah harus menutup-nutupi, sedangkan Davin sendiri sama sekali tidak menghargai perasaanku.

"Apa? Yang bener kamu?" ekspresi muka mama langsung beda drastis

"Maafin aku, Ma. Selama ini aku dibodohi sama cinta. Cinta yang beda agama. Aku tau Davin itu nonmuslim sejak lama. Tapi aku bohong sama mama dan papa biar aku sama dia bisa temenan terus. Karena kalo mama sama papa tau Davin itu nonmuslim, aku sama dia gak akan boleh ketemu lagi. Dia udah nyakitin aku banget, aku nyesel, Ma! Aku nyesel! Maafin aku! Aku mau mama setujuin aku sama Dion aja."

Ini adalah penyesalan yang amat sangat pahit yang pernah aku alami. Aku memeluk mama erat. Aku sangat merasa bersalah. Gara-gara Davin, aku membohongi semuanya. Aku telah tertipu dengan rayuan makhluk itu. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan semua kebohongan-kebohongan yang telah kuperbuat. Maafkan aku.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu rumah. Aku dan mama langsung menoleh ke arah ruang tamu dari pintu kamarku yang terbuka. Mama keluar kamar dan membuka pintu.

"Na, ada yang mau ketemu kamu." Mama kembali dengan ekspresi yang sedikit murung.

Aku mengelap air mataku dan segera keluar dari kamar. Aku berjalan melewati ruang tamu dan berjalan keluar dari pintu rumah. Aku melihat satu motor yang sangat kukenal sedang parkir di halaman depan rumah. Saat aku menoleh ke kanan, tepatnya kursi kursi halaman depan, ada satu kursi yang sedang di duduki oleh seorang cowok. Cowok itu tidak lain adalah...

Davin.

Mau apa dia ke rumahku?

Apa ia ingin meminta maaf?

Atau ia ingin menyakitiku lagi?

Atau ingin membuatku menangis lagi?

"Na."

Davin terbangun dari kursi lalu berjalan menuju ke arahku. Aku mundur perlahan saat Davin semakin mendekat. Aku berusaha menahan genangan air mata yang akan membahasahi pipiku.

"Ngapain lagi?"

Ia semakin mendekat.

"Maaf." satu kata yang terucap dari mulut Davin.

Davin menatap mataku. Pandangan matanya benar-benar dalam. Tatapan mata yang menandakan rasa sayang, tetapi aku pasti salah besar.

"Ini, gua cuma mau ngasih handphone lu yang ketinggalan di kolong meja. Tadi pas gua mau pulang ada yang bunyi, pas gua cari ternyata handphone lu. Ada video call dari Dion. Jadi gua ambil." penjelasan Davin mengeluarkan ponselku dari kantongnya dan memberikannya kepadaku.

Mengapa aku bisa tak sadar meninggalkan barang berhargaku yang sudah membantuku berkomunikasi dengan Dion. Apa kesedihan tadi itu membuatku lupa segalanya?

Aku mengambil ponsel itu lalu masuk ke rumah dengan membanting pintu. Aku bersandar di balik pintu rumahku. Air mata itu tak tertahankan lagi, ia mengalir dengan sendirinya. Aku menatap layar ponselku dengan penuh tanda tanya. Ponselku yang masih dalam keadaan mati menampakkan bayangan wajahku yang penuh kesedihan. Cukup banyak pemberitahuan pesan masuk dari Dion.

· "An, aku dapet kabar dari Otar katanya kamu abis nangis ya? Kamu kenapa?"

· "An kamu nangis gara-gara aku?"

· "Hallo, An. Kok gak dijawab? Kamu marah sama aku?"

· "An, aku minta maaf kalo aku salah sama kamu. Tapi kenapa? Kok teleponnya gak diangkat?"

The DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang