MDD - 3

4.3K 232 41
                                    

"Itu temenmu kan?" Pertanyaan Rega yang tiba-tiba membuat Iha menoleh memperhatikan arah pandangan Rega. Disitu lah duduk seorang cewek berjilbab yang sedang melamun sembari memeluk tubuhnya, mungkin kedinginan pikir Iha.

Cewek tersebut duduk sendiri di bangku panjang di depan kelasnya. Iya, cewek tersebut adalah Sila.

Fokus Iha kembali lagi kepada Rega, lalu berikutnya ia mengangguk mengiyakan pertanyaan Rega, "Iya Re." katanya.

"Nah contoh temen lo tuh Ha, pendiem jangan kayak lo yang blangsatan gitu." sahut Danu yang juga bersama mereka berdua.

Ya mana mau Rega berduaan dengan yang bukan muhrimnya, takut berkhalwat dan menimbulkan maksiat. Danu, Rega dan Iha memang baru keluar paling akhir, karena ada urusan yang masih harus mereka diskusikan sebelum pulang.

Iha menatap nyalang ke arah Danu, "Heh, enak aja kamu nilai seseorang. Yang bisa menilai itu ya Allah. Gini-gini aku juga mengerti yang namanya batasan agama." ucap Iha yang tak suka dengan Danu yang seenaknya menilai seseorang.

Jelas Iha tak suka. Tidak semua hal bisa dinilai dari luarnya saja. Memang benar Iha anaknya enggak bisa diem selalu heboh tapi dia masih sebisa mungkin mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.

"Sabar Ha, jangan terbawa emosi. 'Yang dikatakan orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat. Tetapi, yang dikatakan orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika sedang marah (HR. Bukhari dan Muslim)'. Setan tengah menggodamu ingat. Mungkin Danu cuma bercanda." Rega mencoba menengkan Iha yang mungkin sudah terlihat emosi. Iha setengah memunggungi Rega dan Danu dengan tangan yang bersidekap.

Lalu Rega menepuk pundak Danu. "Untuk lo Nu, jangan membanding-bandingkan orang lain. Lo tidak ada hak. Perbaiki diri lo dulu sebelum menilai orang lain. Ngerti?"

Danu menghela napas panjang. "Iya pak ustad Rere." katanya.

Rega tersenyum lembut, "Yaudah sana minta maaf ke Iha." Rega mengedikkan dagunya ke arah Iha yang masih bersidekap.

Lagi-lagi Danu menghela napasnya. "Maaf Ca, tadi gue cuma bercanda." katanya dengan tulus.

Lalu kemudian Ica berbalik badan dan memasang senyumnya, "Oke dimaafkan. Sesama muslim harus saling memaafkan kan."

"Nah gitu dong." seru Rega dengan senangnya. Mendamaikan dua orang yang bersiteru adalah berbuatan yang mulia.

"Eh bentar," tiba-tiba saja Rega melepas jaket berwarna denimnya itu lalu mengulurkannya kepada Iha, "Nih!" katanya.

Iha yang bingung menaikkan sebelah alisnya, "buat?" tanyanya kepada Rega.

"Itu aku mau pinjemin ke temenmu, kasian dia sepertinya kedinginan." Lagi-lagi Iha memasang ekpresi tak biasanya.

"Tunggu-tunggu Re sejak kapan kamu jadi perhatian gini sama cewek," Iha masih dengan ekpresi tak biasanya.

"Kalau ada orang yang kesusahan kita sebagai saudara hendaklah membantunya." Senyum tipis menghiasi wajah teduh Rega.

Iha menyipitkan matanya memeperhatikan Rega, "Terus kamu pake apa?" tanya Iha.

Rega menundukkan kepalanya sejenak memperhatian penampilannya. "Aku mah strong, cowok ini, masak kedinginan sih enggak pake jaket doang." jawabnya.

"Ciah Rere bilang aja mau deketin dia. Mau ngecengin dia kan." sahut Danu dengan mendorong dorong bahu Rega dengan tak santai.

Iha tersenyum. Sungguh, tak biasanya Rega peduli kepada cewek kecuali kalau sudah dekat sebelumnya atau kenal lama. Tapi ini, Sila. Sila yang notabene teman Iha. Bukan siapa-siapa Rega mungkin kenal cuma sebatas nama.

Memintamu Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang