"Sila! Kamu gimana sih?" Ema berkacak pinggang memandang temannya itu yang sedang memeras ujung jilbannya yang sudah basah.
"Gimana apannya?" tanya balik Sila kepada Ema. Sila pikir toh apasih ada yang salah atau gimana?
"Kamu jadi basah kan!" seru Ema yang masih tak suka dan tak terima bila Sila sudah basah bak disiram air se-ember.
Sila menggeleng. "Enggak apa-apa Ema. Toh cuma basah ini! Basah enggak mungkin bikin sekarat kan ya?"
Ema melengos, mengelus dadanya. Ia butuh asupan kesabaran yang tinggi menghadapi Sila. "Bisa, nanti kamu bisa demam terus parah terus meninggal, gimana?"
Sekarang Sila berganti mengangguk, "Ya berarti sudah waktunya aku kembali ke Sang Pencipta." dengan santainya Sila berucap seolah-olah kematian adalah hal yang wajar diobrolkan seperti ini. Toh Sila juga memang benar kematian memang datang tiba-tiba entah kita sudah siap atau belum ujungnya tetap diambil nyawanya oleh malaikat.
"Astagfirullah Allahu Akbar! Sila! Ya allah sabarkan hambamu ini ya Allah." Ema menghirup napas tergesa-gesa sambil mengelus dadanya.
"Kan aku cuma mau nolong adiknya kasian dia." Sila memasang wajah sendunya teringat bagaimana gadis kecil itu yang ia ketahui namanya Sara itu menahan sakit di lututnya.
"Iya deh iya kamu benar deh. Kamu memang enggak salah." Ema akhirnya menyerah. Sila mengangguk bahagia akhirnya apa yang ia lakukan dibenarkan oleh Ema.
"Sekarang sudah reda. Ayo buruan pulang!" Ema bergegas dan mengambil tasnya. "Kamu enggak usaj bawa tas! Tas kamu aku bawa aja. Nanti kalo kamu bawa malah basah." lanjutnya sembari mendekap tas Sila di depan badannya sedangkan tasnua sendiri ia kenakan di punggungnya.
Sila menggeleng, tak enak merepotkan temannya. "Enggak usah Ma. Biar aku bawa sendiri." Sila mengulurkan tanganya ke arah Ema meminta kembali tasnya.
Namun, Ema segera menggeleng cepat. "Enggak boleh! Aku yang bawa!" tanpa memperdulikan Sila lagi Ema berjalan mendahului Sila.
Sila hanya mencebik kesal. Ia berjalan gontai di belakang Ema. Malang sekali nasibnya. Sudah basah kuyup, jalan sendiri di belakang. Seperti orang hilang dia.
Ema pun menoleh, "Sila ayo buruan. Kayak orang hilang kamu jalan sendirian dengan keadaan basah gitu!" Ucap garang Ema kepada Sila. Sila yang sedari tadi menundukkan kepalanya segera mengangkat pandanganya. Senyuman lebar Sila tak henti-hentinya merekah. Bahkan ia sudah berlari girang menghampiri Ema. Sila pikir Ema sedang marah, makanya ia memilih menjaga jarak. Tapi toh ternyata Ema tidak marah kepadanya.
Ema bergeser ke samping dengan cepat. "Eits! Jangan pegang-pegang! Kamu basah!" Seru Ema saat Sila hendak merangkul. Sila pun hanya mencebikkan bibirnya kesal.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang sedang mengukuti mereka dari belakang. Hingga Ema sampai lebih dulu di rumahnya.
"Nih tas kamu, jangan dipakai. Dijinjing aja tasnya. Nanti basah!" coba teman macam apa yang terlalu peduli dengan tas yang basah. Toh ini cuma tas basah pun enggak ada yang salah.
"Kamu kok perhatian banget sih sama tas aku?" Sila mengambil alih tasnya dari Ema.
"Mahal! Tas kamu itu limited edition!" kata Ema dengan semangat 45.
Sila mendengus, apa sih arti tas limited edition toh nanti kalo sudah usang juga bakal dibuang. Sila juga mendapat tas itu dari tantenya saat Sila ulang tahun ke-17 kemarin. Sila mana ngerti begituan, yang penting bisa dipakai.
"Kamu mau? Buat kamu aja tasnya. Nih!" Sila menyodorkan kembali tasnya kepada Ema.
Ema membulatkan matanya. "Enggak gitu! Maksut aku kamu harus merawat sesuatu dengan benar, Sil!" katanya.
"Iya deh iya. Aku mau pulang. Assalamualaikum." Sila melambaikan tangannya kepada Ema dan pergi membiarkan Sila masuk ke rumahnya. Rumah mereka berjarak cukup dekat. Hanya dipisahkan oleh 5 rumah saja.
Sila berjalan dengan gontai, dia tak semangat. Pasti sampai rumah bakalan kena ceramah.
Sepasang mata terus mengamati tingkah Sila tanpa Sila ketahui. Orang itu terus saja mengikuti Sila. Sampai Sila membuka pagar rumahnya dan masuk. Akhirnya orang tersebut menghentikan langkahnya. Hanya mengamati Sila yang berbicara dengan seorang lelaki yang tengah mencuci motor di halaman rumahnya.
.
.
.
.
."Assalamualaikum!" Salam Sila setelah menutup pagar kembali. Dapat dilihatnya Abangnya yang sedang mencuci motor, mungkin karena habis kehujanan tadi.
Ibra memperhatikan Sila sejenak. "Waalaikumsalam. Habis kecebur got dimana, dek?" tanya Ibra saat ia melihat adiknya pulang dengan baju basah kuyup. Tetapi tasnya masih kering.
Sila mencebik kesal, "Kok, kecebur got sih. Auk ah!" lalu ia pergi sembari menghentak-hentakan kakinya kesal. Ia melepas sepatunya di teras, kalau dibawa masuk nanti lantainya kotor karena sepatunya basah. Dan pasti akan dimarahi oleh bundanya jika tidak menjaga kebersihan.
Hampir saja ia masuk ke dalam rumah, adiknya, Adam keluar dari pintu. Adam bukannya kasian dengan kakaknya ia malah terbahak melihat sang kakak.
"Kak, abis disiram air siapa." Adam memegangi perutnya karena terlalu heboh tertawa.
Lagi-lagi Sila hanya mencebikkan bibirnya kesal. Emang ya, tak ada yang peduli dirinya.
"Awas minggir!" Sila mendorong tubuh Adam yang menghalangi jalan masuk Sila. Sampai Adam terhuyung ke belakang. Bukannya marah atau kesakitan, Adam malah tertawa kencang melihat kakaknya yang sedang kesal.
"SILA! KAMU ITU UDAH BESAR TAPI KOK MASIH MAIN HUJAN!" teriak Bunda Sila sembari berkacak pinggang saat melihat anak perempuan satu-satunya itu pulang dengan seragam yang basah.
"Sila jelasin dulu Bunda tercinta. Jangan marah-marah dulu."
"Jelasin apa coba? Kamu sudah basah begini pasti main hujan. Kamu mau bilang kecebur got? Atau pas lewat disiram air seember?"
"Ya enggak gitu lah Bunda. Tadi Sila bantu anak kecil yang lagi jatuh."
"Terus?" Bunda Sila menyipitkan matanya memandang Sila.
"Ya terus anak kecilnya itu jatuh pas hujan-hujanan. Ya terus Sila bantuin. Ya terus Sila hujan-hujanan bantuinnya. Ya terus Sila jadi basah."
"Ya terus kamu bisa dipercaya?"
Sila mengangguk cepat. "Asli Bunda, Sila enggak bohong, coba Bunda tanya Ema. Dia saksi mata."
"Siapa tau kalian berdua berkonspirasi."
"Ayo bunda kalo enggak percaya. Kita ke rumah adik kecilnya." Sila mencoba meraih tangan Bundanya.
Namun, bunda Sila menjauhkan tanganya dan kembali berkacak pinggang. "Emang kamu tau?"
"Ya taulah. Rumah di sebelah halte, pagar warna item. Adik kecilnya kembar, terus ada mas-mas pake seragam SMA."
Bunda Sila diam seolah-olah mengingat sesuatu. "Oh rumah bu Dara."
"Ya mana Sila tau. Orang Sila enggak kenalan sama ibu mereka." Sila mengedikkaan bahunya.
"Itu tuh siapa tuh nama anaknya yang gede. Kamu dulu suka main sama dia. Duh lupa bunda. Ka-Ka,"
"Saka?" sahut Sila.
Bunda Sila menjentikkan jarinya. "Nah Saka! Kamu dulu waktu kecil mainya sama dia masak kamu enggak inget sih Sil."
"Masa? Kok Sila enggak inget ya?
"Iya, orang yang kamu inget-inget abang bakso lewat depan rumah jam berapa."
Maafkan typo! Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu Dalam Doa
Teen FictionMemintamu dalam doa adalah cara terbaikku untuk berusaha. Menjadikanmu yang belum halal untukku menjadi halal setelah kuucapkan qobiltu. Memintamu dalam doa adalah cara sederhana walau efeknya begitu luar biasa. Kusebut namamu di setiap malam mengud...