Air hujan kembali turun. Mengguyur kota tanpa ampun. Meneteskan air pada bumi yang panas. Sebagai penyejuk saat siang hari yang panas. Gemriciknya seolah mengalunkan irama yang syahdu di telinga.
Hujan sudah turun sejak siang tadi, tapi nyatanya menjelang sore pun hujan tetap mengguyur. Sudah di maklumi bahwa sekarang sedang musim hujan. Entah itu pagi, siang, sore ataupun malam hujan akan datang dengan sendirinya.
Hembusan angin yang bertiup membuat siapapun yang terkena semilir angin tersebut akan kedinginan. Genangan air sudah berada dimana-mana. Matahari pun enggan menampakkan dirinya. Sedang sembunyi di balik awan ternyata dirinya.
Di saat setiap hujan, entah kenapa ada magnet tersendiri bagi Sila agar menerobos dan menikmati guyuran air hujan tersebut. Pikirnya mungkin mengasikkan biaa bermain dengan air.
Mungkin Sila pikir, air hujan mampu sejenak menghilangkan stress akibat kehidupan, karena dinginnya air hujan mendinginkan kepala. Seperti terapi pikirnya.
Maka nikmat Tuhan yang mana yang kau dustakan.
Namun nyatanya ia hanya berdiri di sebuah halte tak jauh dari rumahnya. Menunggu hujan reda, lalu berjalan pulang ke rumahnya. Setelah turu dari angkot, hujan tetap saja mengguyur membuat dia dan temannya yaitu Ema. Harus pasrah sejenak menunggu hujan agar reda supaya bisa pulang ke rumah.
Mereka tidak terlalu bodoh untuk menembus hujan yang begitu derasnya. Berlari menembus hujan sampai ke rumah. Oh tidak, pasti mereka akan dimarahi oleh orang tua mereka bila melakukan hal konyol seperti itu.
Sila yang suka hujan, tidak membuatnya seolah bila ada hujan ia harus bermain-main di bawah derasnya hujan. Tidak, dia hanya berpikir mungkin itu mengasikkan. Bukan berarti dia sering melakukan.
Tangannya terulur menikmari air yang turun dari atap halte. Tangannya sibuk bermain dengan air yang mengalir. Tak peduli bila tangannya dan ujung lengan seragamnya sudah basah. Bahkan Ema sudah memperingatkan kepada Sila untuk mundur agar dirinya tidak basah. Tapi, nyatanya Sila tetap dengan keras kepalanya.
"Sil, mundur lah kamu jangan di pinggir gitu. Nanti kamu basah!" seru Ema yang setengah berteriak karena kerasnya suara hujan.
Sila menoleh ke arah Ema yang sedang duduk di bangku panjang halte. "Enggak papa, cuma basah dikit Ma." Ema hanya menghela napas beratnya. Toh percuma saja, sudah ia tebak.
Hujan yang ditunggu redanya tak kunjung reda. Sungguh Sila sudah mulai bosan. Telapak tangannya sudah mulai memucat karena terlalu lama bermain dengan air hujan.
Namun, di tengah merasakan rasa bosannya. Ada seorang anak kecil yang sedang bermain-main hujan terjatuh setelah tak sengaja kakinya tersandung oleh batu yang ada di genangan air.
Suara mengaduh kesakitan itu terdengar jelas. Bahkan Ema pun juga dapat mendengarnya. Sila tanpa ba-bi-bu meletakkan tasnya di pangkuan Ema dan begitupun Ema sempat terpekik kaget karena Sila setengah melempar tasnya ke arah Ema. Beruntung Ema sigap bila tidak pasti tas tersebut akan jatuh dan basah juga kotor.
"SILA. KAMU MAU KEMANA?" teriak Ema saat Sila sudah menerobos derasnya air hujan. Tak peduli lagi seragamnya sudah basah.
Sila tak menoleh sedikit pun. Fokusnya sekarang sudah ke pada anak kecil yang kesakitan tersebut. Lututnya terluka ditambah terkena air hujan, pasti sangat lah sakit. Namun, anak kecil itu hanya meringis sambil sesekali mengaduh. Sedangkan yang satunya merasa bersalah, teelihat dari tatapan mata anak tersebut. Sila yakin mereka berdua adalah anak kembar.
Sila berjongkok mensejajarkan badannya dengan anak kecil itu yang sudah terduduk sambil menatap lututnya yang tergores. "Ya Allah dek lain kali kamu hati-hati kalau main hujan-hujanan. Rumah kamu dimana? Biar kakak antar kamu pulang." Sila menatap anak perempuan tersebut dengan kasian. Sedangkan anak laki-laki satunya sudah berlutut sembari menggenggam tangan saudarinya itu.
"Di situ kak." anak perempuan itu menunjuk salah satu rumah tak jauh dari posisi mereka. Tapi, fokus Sila malah ke suara gadis kecil itu yang ingin menangis tapi ia tahan.
"Kalau mau nangis-nangis aja dek. Jangan ditahan nanti tambah sakit." kata Sila. Namun, gadis itu malah menggeleng.
"Kata Bang Saka kita enggak boleh cengeng. Enggak boleh nangis." bukan gadis kecil itu yang menjawab melainkan anak laki-laki itu yang menjawab.
Sila mengernyitkan dahinya. Bang Saka? Ah tak peduli dia, siapapun dia kenapa sih melarang anak kecil menangis. Menangiskan bentuk wujud mengekspresikan diri.
"Yaudah deh, ayo kakak antar pulang. Kakak pegangin. Ayo!" saat hendak meraih tangan gadis kecil tersebut tiba-tiba Sila merasa aneh. Kok tiba-tiba ia tidak merasakan air hujan mengguyurnya sedangkan mata dan telinga masih bisa mengetahui bahwa hujan masih mengguyur.
Sila pun mendongakkan kepalanya ke atas. Ternyata ada orang yang memayunginya oh lebih tepatnya mereka juga. Orang tersebut memakai seragam anak SMA. Tubuhnya tinggi tegap. Lalu lelaki itu berlutut mensejajarkan tingginya dengan mereka. Sebelum Sila dapat memahami situasi orang tersebut sudah berbicara.
"Kan abang sudah bilang, jangan mainan hujan di jalan bahaya." kata orang tersebut. Dan Sila yakin yang dimaksut bang Saka adalah orang tersebut. "Baru abang tinggal sebentar minum udah hilang aja kalian." lanjutnya.
"Maaf bang, Aksa yang salah." anak laki-laki itu yang bersuara.
"Enggak bang, Sara yang salah. Tadi bang Aksa sudah bilang jangan main di jalanan tapi Sara masih ngeyel." sahut gadis kecil itu.
"Sudah, kalau gini kan sudah tau akibatnya kan. Jangan diulangi lagi."
Sila berdehem seoalah memberi tau bahwa ada orang disini selain kalian. "Mas kakak mereka?" tanya Sila akhirnya.
Lelaki tersebut baru sadar bahwa ada orang lain diantara mereka. "Ah iya. Maaf lupa kalo ada orang lain disini tadi." lelaki itu menggaruk tengkuknya merasa canggung.
Sila mengangguk. "Yaudah, karena sudah ada abang kalian. Kakak pergi dulu ya. Cepat sembuh adek manis." Sila mengusap kepala gadis kecil tersebut.
"Terima kasih ya, mbak." abang si anak kembar itu bersuara mengucap terima kasih.
"Iya. Assalamualaikum." Sila pun beranjak berdiri dan meninggalkan mereka lalu kembali menghampiri Ema yang menatap ke arah Sila seolah berkata 'kamu gila? Hujan-hujanan kayak gitu?'
Tanpa disadari oleh Sila lelaki tersebut terus saja memandangi Sila dari kejauhan. Memperhatikan gerak-gerik Sila bersaman Ema. Ada magnet tersendiri yang membuat lelaki itu terjatuh akan pesona Sila. Cara Sila berkata dengan anggun dan lembut. Cara Sila mengusap kepala adiknyaa dengan penuh kasih sayang. Cara Sila yang mendengarkan ceramah temannya tersebut, bahkan dia hanya diam sambil sesekali mengangguk atau menggeleng. Sampai panggilan dari adiknya membuatnya tersadar.
"Bang Saka!" panggil Aksa.
Saka mengerjap-ngerjapkan matanya mencoba tersadar. Lalu menoleh ke arah adik kembarnya. Ia merasa bersalah sudah tak bertanggung jawab kepada adiknya tersebut. Sampai-sampai adiknya terluka seperti itu.
Rere disimpen dulu!
Vote dan comment! Maafkan typo!
Terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu Dalam Doa
Teen FictionMemintamu dalam doa adalah cara terbaikku untuk berusaha. Menjadikanmu yang belum halal untukku menjadi halal setelah kuucapkan qobiltu. Memintamu dalam doa adalah cara sederhana walau efeknya begitu luar biasa. Kusebut namamu di setiap malam mengud...