.
.
.“Jika kamu ada dendam dengan saya, tolong katakan! Jangan hanya jadi PECUNDANG yang berani di belakang.”
Hening
Tak ada satu katapun yang terlontar diantara keduanya. Posisi mereka pun masih pada posisi yang sama, perlahan sosok itu melepaskan jubahnya dan betapa terkejutnya Arham saat melihat Pak Bowo seorang lansia yang bertugas sebagai petugas kebersihan sekolah ini. Arham mulai berjalan ke arah pak Bowo yang menampilkan ekspresi wajah kebingungan. Arham hanya dapat tersenyum kecut sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Maaf pak, saya salah orang.”
“Ada apa ya, den?” tanya pak Bowo dengan suara medoknya.
“Ini, tadi saya kira pak Bowo orang yang berantakin ruang osis. Abisnya pak Bowo pake jubah hitam panas-panas gini, kan saya jadi curiga.”
“Oooh jubah ini saya temukan di tong sampah belakang ruang osis, gak tau punya siapa jadi ya saya ambil, dan ini juga masih bagus untuk dipakai, lumayanlah biar kalau saya kerja gak terkena sinar matahari langsung, biar putihan dikit.”
“Tong sampah? Boleh saya lihat pak?” pak Bowo pun meepaskan jubahnya dan memeberikannya pada Arham. Dengan seksama Arham mencoba mencari jejak siapa pemilik jubah tersebut. Setelah beberapa saat, namun hasilnya nihil, ia tak dapat bukti satupun. Akhirnya Arham kembali ke ruang Osis dan membersihkan ruangan tersebut yang tentunya dibantu anggota Osis Mpk yang lain.
***
Zie semakin mempercepat langkah kakinya, nafasnya memburu seperti sehabis lari marathon, peluh keringat yang membasahi pelipisnya menjadi bukti bahwa ia sedang kelelahan. Ketika sudah cukup ia mengambil nafas, Zie mencoba memberanikan diri untuk melihatbke belakang. Kosong.
“Huftt.. dasar anjing gilaa, awas aja lu.” Rutuk kesal Zie. Seketika tenggorokannya terasa kering, suhu tubuhnya pun memanas, untungnya ada sebuah warung penjual minuman yang dapat menuntaskan rasa hausnya. Setelah membeli minuman, Zie kembali melanjutkan perjalanan pulang. Baru saja Zie melangkah, Zie dikejutkan oleh tepukan di pundaknya.
“Eh Zie, lo mau kemana?” Zie pun langsung membalikkan tubuhnya dan melihat Albert dengan dua kantong di tangan kirinya.
“Kepo banget sih! Gue masih marah dengan, lo!” gumam Zie menepis tangan Albert dan mengerucutkan bibirnya, membuat gelak tawa Albert membuncah.
“Hahaha… itu bibir atau moncong bebek? Maju banget, minta ditabok tu? Udah deh Zie, lo gak cocok ngambek kayak gitu, sok imut banget lagi.”
“Ehh.. gue emang imut kali.. lo nya aja yang baru sadar. Au ah gelap, mending gue pulang.”
“Enak aja mau pulang, lo pura-pura lupa ya? Hari ini kan ada rapat.”
“Dih.. males banget gue ikut yang begituan, apalagi ketemu si Arham yang mulutnya kayak cabek. Pedes.”
“Udah deh Zie, jangan diambil hati, Arham emang orangnya begitu, tegas banget kalo di organisasi apalagi jabatan dia ketua osis, jadi wajar lah dia tegas ke anggotanya”
“Ya tapi gak--”
“Ah.. lama, ayo ntar kita telat” Albert menarik paksa tangan Zie. Selama perjalanan Zie mengoceh memarahi Albert, namun ocehan itu sama sekali tidak digubris Albert.
***
Alunan merdu suara biola sangatlah cocok untuk menemani makan malam romantis di bawah sinar rembulan dan bintang. Lilin-lilin aromatherapy tersusun rapi diatas meja beralas kain maroon. Begitu juga dengan Bunga mawar terlihat menawan didalam guci emas itu. Tak lupa makanan mewah sudah tertata rapi lengkap dengan minumannya.
Nirla menatap lekat Arham yang sedang menyantap makanannya. Begitu tampan. Itulah kata-kata yang ia ucapkan selama melihat Arham. Bagaimana tidak? Penampilan Arham malam ini begitu berbeda, rambut klimis berpadu dengan setelan tuxedo hitam yang begitu pas ditubuhnya, membuat ia terlihat sangat berwibawa dan dewasa, satu hal yang membuat ia sangat berbeda, mata abu-abu itu terlihat jelas tanpa terhalang kacamata.
“Aku jadi gak sabar untuk jadi istri kamu.” Mendengar penuturan Nirla membuat Arham tersedak makanannya.
“Tapi aku gak akan pernah mau jadi suami kamu!” Arham menatap sinis Nirla yang tersenyum kecut.
“Tapi kamu gak akan bisa nolak Arham sayang, orang tua kita yang menjodohkan kita dan kamu gak bisa menentang itu.” Nirla bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Arham.
“Siapa bilang aku gak bisa nolak perjodohan ini? Liat saja nanti, apa yang akan terjadi.”
“Ih.. kamu kok jahat banget sih! Aku laporin ke mami nih…”
“Laporin aja, gue gak peduli.” Arham beranjak dari kursi dan langsung pergi meninggalkan Nirla yang menggerutuk kesal.
.
.
.
.
.
.
Bersambung...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terima kasih sudah membaca 😂
Maafkan author yang lama update 😂
Btw, jangan lupa vote dan komentarnya biar author semangat nulis. 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Glasses
Genç KurguMencintai diam-diam itu nikmat Cemburu memang bukan hak, memiliki apalagi Hanya sebatas memandang, tapi rasa membuncah tak karuan. Sakit tapi apa daya Karena nyatanya dia bukan atau bahkan tak termiliki. Cerita ini mengisahkan tentang seorang gadis...