Part 4 : Vortex

757 28 3
                                    

Sapu tangan merah jambu ini laksana tabir Barzakh buatku. Setiap kali kucium aromanya, anganku melayang-layang. Menembus ruang dan waktu. Melesat ke dimensi lain. Menuju alam halus yang tak kumengerti. Tubuhku melesat terbang. Mengambang di awan. Lalu, meluncur cepat ke lubang gelap bak pusaran angin puting beliung. Seperti masuk dalam kumparan vortex. Jantungku serasa copot. Aku seperti dalam roller coster yang melaju cepat.

Kemudian, di titik keheningan yang paling dalam, saat kedamaian hati terasa di sekujur tubuh, aku bertemu dengan Putri Hanum di atas awan. Dia melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum manis. Mengajakku terbang bersamanya. Dia tampak begitu anggun dan memikat dengan gaun serba putih. Mengambang di atas awan bak kapas. Pesona terasa meremukkan tulang belulangku. Tubuhku terasa dingin menyaksikan bidadariku di pelupuk mata.

"Hanum...Hanum," teriakku. Aku memanggil sekuat-kuatnya. Tapi, senyumnya mengisyaratkan agar aku tetap tenang. Sorot matanya seolah memerintahkan aku untuk diam. Lidahku kelu. Tak mampu berkata apa-apa. Kemampuan bahasaku hilang begitu saja. "Dimana aku?! Alam apa ini? Mengapa bisa begini," bisikku di lubuk hati yang paling dalam.

Entahlah, bagaimana aku harus menjelaskan. Dia terasa begitu nyata. Sangat dekat, tapi tak teraba. Dia mendekapku, tapi tak tersentuh. Dia terasa bersamaku, tapi tak terjangkau. Dekatnya tak bisa terindera. Kebersamaannya tak seperti kebersamaan antara tubuh dan pakaianku.

"Ah...Mungkin ini hanya mimpi," gumamku.

Perlahan kubuka mataku. Lalu kucubit lenganku sendiri. "Aku merasakannya. Ini bukan mimpi lagi. Aku sadar. Aku sadar," bisikku. "Dimana aku ini? Ini bukan kamar Pak Kyai. Tak ada ruang seperti ini di pondokku.

Aku mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali aku sadar. "Hmmm. Aku sedang duduk di ruang tengah dalam rumah Pak Kyai, lalu aku tak tahu apa yang terjadi," bisikku dalam hati.

"Alhamdulillah. Kamu sudah sadar," kata Gus Kholid sambil menghampiriku.

"Aku dimana ini, Gus?"

"Di rumahku."

"Koq bisa?!" tanyaku penasaran.

"Ceritanya panjang. Nanti saja. Kamu istirahat saja dulu."

Aku memang pernah menginap di rumah Gus Kholid, tapi bukan di kamar ini. Sepertinya, ini kamar tamu keluarga Kyai Bahruddin. Beliau juga guru yang sangat aku kagumi. Namanya cukup disegani di daerah sekitar Goa Jatijajar, Kebumen. Aku banyak menimba ilmu dari beliau. Dan, hal yang paling kusukai adalah masjidnya, karena persis berada di lingkungan pariwisata Goa Jatijajar.

Tiba-tiba aku mendengar suara Pak Kyai Makmun sedang berbincang dengan seseorang.

"Itu suara Pak Kyai?"

"Benar. Lagi ngobrol dengan Bapakku."

"Pak Kyai Makmun yang bawa aku kesini?"

"Iya."

"Separah apa rupanya aku ini, Gus?"

"Hahaha. Kayak anak-anak," jawab Gus Kholid sambil tertawa. Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil mulai menghimpun kesadaran satu per satu.

Sahabatku ini memang memiliki aura yang menenangkan. Wajahnya tampan dan bercahaya. Kulitnya bersih sawo matang. Kulihat dia yang paling ganteng di antara anak-anaknya Kyai Bahruddin. Aku cukup bersyukur dapat belajar bersama-sama dengan Gus Kholid di Pondok Pesantren Gading, Kroya. Pada saat yang sama, aku pun bisa ikut belajar ilmu hikmah dari Kyai Bahruddin, ayah Gus Kholid.

***

"Kamu tak perlu pulang dulu ke Indramayu. Tenangkan saja pikiranmu disini. Belajar langsung dengan Kyai Bahruddin. Bantu Pak Kyai mengurus masjid," kata Pak Kyai Makmun.

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang