Part 7: King of Thieves

485 14 2
                                    

"Catch me Daddy…Catch me!” teriak Sean sambil mengayuh sepeda roda tiganya.
Aku pun berusaha mengejar dengan gerakan ala badut. Canda tawanya menghiasi keindahan taman pagi itu. Kadang dia pura-pura jatuh dan berguling-guling di atas rumput. Lalu berlari dengan celana kedodoran. Aku mengejar layaknya ayah yang konyol. Kita bermain petak umpet dan berkejar-kejaran di antara bunga-bunga rimbun di halaman parkir apartemen. Rasanya sempurna menjadi seorang ayah. Sean anak lelaki harapanku, satu-satunya.

Aku bisa menumpahkan rasa sayang yang dulu tak sempat dilakukan orangtuaku sendiri. Aku bahagia atas titipan rahmat Tuhan melalui Sean. Meskipun bukan darah dagingku, tapi aku telah berbagi separuh cinta untuknya bersama Yasmin. Sean juga lebih menyukai cerita-cerita sebelum tidur dari mulutku daripada cerita dari Yasmin. Aku berhasil meyakinkan Sean bahwa aku adalah ayah yang layak dicintai.

Sean kami adopsi saat berumur 2 tahun. Kami mendapatkannya dari salah seorang bernama Zahra, kawan dekat Yasmin yang datang meminta tolong. Konon, Sean adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang datuk yang tidak bertanggung jawab dengan seorang TKW asal Indonesia. Tepat di hari ketujuh pernikahan kami, Sean menjadi bagian dari kehidupan kami. 

Yasmin menyaksikan kami dari bangku taman di ujung jalan. Tak biasanya pagi itu dia tak ikut bermain bersama. Sudah hampir 5 pekan setelah hari jadi pernikahan kami, Yasmin seperti menghindari bermain bersama kami. Apalagi setelah pertemuannya dengan Razi dua hari lalu.Tapi, aku tak ingin tahu penyebabnya. Kuanggap itu hanya “angin-anginan” gaya wanita saja. Dan, bagiku, Yasmin adalah istriku yang sempurna. Gaya angin-anginan hanya pelengkap pernak-pernik dari keindahan hubungan cinta kita. Itu bukan masalah berarti.

Minggu bahagia bersama Sean. Aku senang, dia pun sama. Sementara Yasmin menyiapkan menu makan siang untuk Sean, dia justru telah tertidur di sofa. Sean terkapar kelelahan sambil memeluk mobil-mobilan hadiah dariku.
Di saat Yasmin membereskan mainan milik Sean yang berserakan di lantai, kulihat Handphone-nya terus berdering berkali-kali. Aku yang berada dekat dari meja merasa perlu untuk meraih HP itu untuk diserahkan ke istriku tercinta. Sayangnya, saat kulirik ke arah HP Yasmin, kulihat nama Razi tertera begitu jelas. Beberapa pesan dan notifikasi whatsapp-nya pun berhasil kulihat. “Aku harus maklum,” bisikku dalam hati. Lalu kuserahkan HP itu ke Yasmin dengan kedipan mata sayang.

“Dia telpon lagi. Angkat saja,” kataku sambil berlalu pergi.
“Ooo. OK,” jawabnya gugup.

***
Notifikasi FB-ku kembali berbunyi:
“Aku tahu, kamu di KL.”
“Bisakah kita bertemu?”
Pesan dari Maryam kembali mengganggu. Aku baru dengar dia ada di sini. Aku bingung, apakah aku menjawab atau tidak. Jika kujawab, berarti aku harus mengatakan “Ya”. Lalu, setelah itu akan ada pertemuan. Dan, pasti di pertemuan itu kita akan membahas Hanum. Itu yang membuatku bingung. Tapi, jika tak kujawab, apa kata dia nanti. Aku akan dianggap sombong dan tak peduli dengan kawan. Di lubuk hatiku yang paling dalam, sejujurnya, aku pun ingin bertemu dengan Maryam, sekadar berkangen-kangenan sesama kawan satu pesantren. Tentu sangat menyenangkan. Apalagi kita sama-sama berada di perantauan.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku pun menyerah. Demi sopan santun, kujawab pesannya: “Betul, Ustazah. Saya di KL. Tahu dari mana? Maaf saya baru balas.”
“Nggak apa-apa. Aku paham. Nggak perlu panggil aku Ustazah ya. Aku kan belum pernah menjadi ustazah buat kamu. Hehehe. Kita hanya beda setahun koq. Waktu aku lulus, kamu sudah kelas 6. Aku kan cuma ngajar anak-anak kelas bawah, ” Maryam terus nyerocos di chat FB.
“OK. Apa kabar, Mbak? Tinggal di KL juga? Sudah punya anak berapa?”
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana dengan kamu, Matin?”

Maryam meminta nomer telponku. Akhirnya kita saling berkomunikasi lewat telpon. Maryam sudah 7 bulan ini tinggal di KL, ikut dengan suaminya yang sedang melanjutkan kuliah di UiTM. Gus Kholid yang mengabarkan keberadaanku di KL. Era media sosial memang memudahkan kita untuk bertemu kembali kawan-kawan lama. Kita tidak bisa lagi menyembunyikan diri kita lagi di zaman ini. KL-Jakarta itu sangat dekat, hanya di ujung jari. Tak seperti dulu. Bahkan, rasanya Malaysia bukan luar negeri lagi. Kuala Lumpur bahkan terasa lebih dekat daripada Makasar.

Kita banyak bercerita tentang kawan-kawan pondok dahulu. Bercerita tentang hal-hal lucu. Aku baru tahu, ternyata waktu aku ketahuan mencuri telor ayam milik Pak Kyai, namaku sangat terkenal di kalangan santri putri. Aku konon diberi gelar The King of Thieves di asrama putri.

Mereka tak bisa melupakan kenakalanku dulu, di tahun kedua aku di pondok.  Aku beberapa kali mencuri telor ayam milik Bu Nyai yang berada di kandang. Biasanya, aku mengendap-endap melalui pintu belakang, berjalan pura-pura ke dapur, lalu menyelinap mengambil telor. Untuk menghilangkan kecurigaan, biasanya aku berpakaian biasa seperti layaknya mau ke masjid. Pakai sarung dan baju koko. Telor curian itu aku masukkan ke celana dalam. Lalu, aku putar balik ke asrama dan menyimpan telor.

Suatu ketika, di hari yang kulupa namanya, aku mencuri telor dan seperti biasa kusembunyikan di celana dalamku. Tiba-tiba saat akan menuju asrama, aku dipanggil Pak Kyai Makmun. “Thariq, tolong bantu Ibu ambilkan nampan di kolong,” kata Pak Kyai sambil menunjuk ke arah kolong meja dapur dan lemari.

Waktu itu aku adalah cowok satu-satunya yang kebetulan lewat di dapur. Selebihnya adalah 3 orang santri putri yang membantu Bu Nyai piket masak hari itu. Mengambil nampan yang terselip di kolong, lebih cocok untuk santri cowok yang berbadan kecil seperti diriku. Dan, bagi santri pantang untuk menolak permintaan Pak Kyai. Perintahnya adalah kebanggaan buat kami. Apalagi perintah khusus yang tak sembarang santri dapatkan.

Perintah Pak Kyai adalah segalanya. Tanpa pikir panjang, aku pun bersiap-siap. Kugulung sarungku agar memudahkan aku meraih nampan itu. Lalu, aku berjalan merangkak ke kolong, berputar ke pinggir lemari yang sangat sempit dan menaiki ujung lemari. Aku lupa dengan telor yang kusembunyikan di celana dalamku. Saat aku kejepit lemari dan meja dapur tiba-tiba telor di celana dalamku merojol terjatuh dan pecah.  “Aww...Pecah,” teriakku tak sadar.
Pak Kyai pun kaget, “Apa itu?” tanyanya sambil melongok ke kolong. Tapi, begitu dia lihat telor jatuh dari arah sarungku, akhirnya saat itu dia tahu sayalah pencuri telor yang paling dicari oleh Bu Nyai. “Hayyuh koe konangan” (Ayo kamu ketahuan)

Dapur menjadi heboh. Santri-santri putri di sekitar situ menjadi kaget. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. “Kenapa? Pecah apanya?” kata beberapa santri putri yang langsung melihat ke arahku. Mereka kaget melihat telor pecah di kolong meja.

Aku tak bisa menyembunyikan rasa maluku. Pak Kyai langsung “menyetater,” mencubit perutku hingga memar. Aku meringis kesakitan. “Konangan koe. Nyolong endog. Bu..Bu..Iki malinge wis ketemu” (Kamu ketahuan. Mencuri telor. Bu..Bu, ini malingnya sudah ketemu). 

Sejak peristiwa itu aku terkenal di asrama putri. Anak kecil si pencuri telor. Dan, setelah kejadian itu pula sebenarnya menjadi awal kedekatanku bersama Pak Kyai. Aku sering diajak membersihkan kolam ikan di belakang. Memberi makan ayam dan ikan. Aku bahkan sering diminta untuk memijat beliau saat kecapaian di malam hari. Pak Kyai tidak menganggap pencurian yang kulakukan itu sebagai kejahatan berat. Justru sejak itu pula aku berhenti mencuri telor. Beliau sangat memahami bahwa pencurianku saat itu hanyalah pencurian seorang anak kecil yang sedang berusaha mempertahankan hidupnya agar betah di pondok. Bagi Kyai, pencurianku saat itu adalah aib bagi dirinya. Bila sebelumnya ada yaumu-dajajah (hari ayam) Senin dan Rabu bagi santri, kini diberlakukan kebijakan baru.  Bu Nyai menambah menu khusus setiap hari Sabtu dengan memasak rendang telor untuk semua santri.

Aku masih ingat saat Pak Kyai sedang kupijat di ruang tengah, tiba-tiba bertanya soal telor.
“Kenapa kamu berani mencuri telor?” tanyanya.
“Karena aku tahu Pak Kyai nggak akan marah,” jawabku polos.
“Kata siapa nggak marah?” tanya Pak Kyai.
“Ya nggak mungkin marah,” kataku sambil ketawa-ketawa kecil. “Ilmunya saja diberikan, apalagi telornya. Ilmu itu kan jauh lebih berharga dari telor. Apalah arti telor bagi Pak Kyai,” jawabku sekenanya.
Pak Kyai tertawa terpingkal-pingkal karena jawaban nakalku itu.

“Kamu itu raja pencuri yang beruntung. The King of Thieves. You are the real hero,” kata Maryam di ujung telpon.

Kami terus mengobrol via telpon, tapi sama sekali tak menyinggung sedikit pun tentang Hanum. Akhirnya,  Maryam mendesak untuk bisa bertemu denganku dan aku tak bisa menolaknya lagi. Maryam berhasil meyakinkanku tentang pentingnya pertemuan kami.

---BERSAMBUNG---

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang