Part 16: Banjar

293 12 2
                                    

Aku melihat ketulusan di wajah Datuk Rustam. Kejujuran hatinya tampak jelas di mata dan sikapnya beberapa hari ini. Bersahaja dan tak dibuat-buat. Kini dia layaknya seorang gentleman, seperti yang pernah kukenal dari buku induk kebijaksanaan. Aku seolah memiliki dua orang ayah di Malaysia, Abah Samad dan Datuk Rustam. Setiap jam besuk, Datuk Rustam selalu menyempatkan diri menjengukku. Dia mencium tanganku dan kucium kembali tangannya. Perhatiannya terhadapku semakin besar, begitu juga rasa hormat dan keramahan sikapnya. Aku merasa damai mendapat anugerah cinta dari cara yang tak pernah kuduga sebelumnya.

“Thariq, anakku,” panggil Datuk Rustam.

“Saya, Datuk.”

“Sekali lagi saya minta maaf zahir dan batin,” ucapnya lagi dengan airmata yang telah mengering.
Wajahnya tertunduk layu. Aku benar-benar melihat penyesalan di wajahnya.

“Sama-sama, Datuk. Saya pun mohon maaf,” jawabku sambil menjabat tangannya erat.

Kami berbepelukkan. Suasana menjadi hening. Aku merasakan getar kasih sayang dari seseorang yang ingin menjalin persahabatan. Ungkapan tulus dari salah seorang tokoh Melayu yang dihormati. Dia memang seorang gentleman, mengakui kesalahan dan mengulurkan persahabatan. “Being a gentleman is all about how to carry yourself with respect and attitude” (Menjadi seorang gentleman adalah tentang bagaimana membawa dirimu sendiri dengan rasa hormat dan sikap yang baik). Datuk Rustam menanggalkan semua atributnya sebagai “datuk” di hadapanku. Dia melepas baju gelarnya dan berhadapan dengan aku layaknya seorang sahabat.

Datuk Rustam memang pribadi yang mengasyikkan. Tutur katanya lembut dan ramah. Meski wajahnya tampak menyeramkan, tapi budi bahasanya luar biasa. Ini tak seperti cerita Yasmin dan Abah Samad tentang beliau. Aku tak mau berspekulasi, yang penting, apa yang kurasakan saat ini, Datuk Rustam begitu bijak dan benar-benar mengasyikkan untuk diajak diskusi di masa-masa istirahatku di rumah sakit. Aku bahkan selalu terpancing untuk berdiskusi panjang lebar dengan beliau.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Datuk, tak perlu khawatir. Aku sudah sembuh. Besok atau lusa aku sudah boleh pulang.”

“Alhamdulillah. Awak sudah sembuh. Tanganmu masih sakit kah?”

“Sudah tak sakit lagi, Datuk. Aku sudah sembuh.”

“Alhamdulillah. Saya sudah tak sabar nak bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal dengan awak.”

“Saya pun sama, Datuk.”

“Saya mempunyai seorang guru yang berasal dari Sulawesi. Namanya Cikgu Abdurrahman. Beliau guru agama saya. Kalau bukan karena beliau, mungkin saya tak ada disini. Beliaulah yang menyadarkan saya. Saya pun sudah bercerita mengenai awak dan tulisan bahasa Sulawesi itu.”

“Bercerita tentang saya? Maksudnya, apa beliau mengenal saya, Datuk.”

“Tak mengenal secara fisik. Awak pun belum pernah jumpa. ”

Ternyata selama ini, Cikgu Abdurrahmanlah yang mengajarkan Datuk Rustam dan Razi tentang pelajaran Islam. Dia berperan sebagai guru spiritual bagi keluarga mereka. Menurut penuturan Datuk, Cikgu Abdurrahman banyak mengajarkan tentang ilmu batin, mengajarkan tentang makna dzikir, shalat khusuk dan kadang mengajarkan tentang suluk.

“Beliau bukan bomoh (dukun). Hanya guru agama. Tapi, beliau itu pandai menjelaskan makna-makna batin. Saya sangat menghormati beliau. Di usia saya yang sudah tua ini, saya banyak belajar dari Cikgu Abdurrahman. Saya pun ajak Razi untuk belajar mengaji dengan beliau.”

“Beliau kah yang ajarkan Datuk jimat dalam bahasa Walio?”

“Hahaha. Tidak…Tidak. Sebenarnya bukan dari beliau. Itu jimat daripada Atuk saya.”

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang