Ini adalah urut takdir yang harus kujalani. Aku hanyalah wayang yang tunduk kepada Sang Dalang. Dan, Dia hanya berpihak kepada cerita yang dibuat sesuai kehendak-Nya, sama sekali tak dipengaruhi oleh keberadaanku atau siapa pun. Selamanya wayang tak punya pilihan. Tak ada ketidaksengajaan bagi-Nya. Semua adalah kesengajaan yang telah dibuat-Nya. Lalu, kita meraba dengan bahasa ketidakberdayaan sebagai hamba: “Ini tiba-tiba. Tak sengaja. Di luar dugaan.” Dan, beribu kata “kemungkinan” yang tak mempengaruhi alur cerita yang dimainkan Sang Dalang.
Aku belum berani membalas pesan Maryam. Menjawabnya hanya akan membuatku semakin masuk ke alam bawah sadar yang susah dihentikan. Lalu, kutinggalkan bangku stasiun Bangsar setelah sorot mata petugas berwajah India tampak memata-matai. Kulangkahkan kaki dengan perlahan. Dengan sisa-sisa Shalawat Nabi yang kubisikkan di lisanku. Aku berusaha menghibur diri dengan wajah lucu Sean, anakku saat kutimang-timang di beranda rumah. Namun tetap saja sesekali bayangan wajah Yasmin, Hanum dan Maryam muncul bergantian. Wajah mereka hadir begitu saja di setiap sudut jalan yang kulalui menggantikan poster-poster iklan.
Aku terus berjalan mengikuti kemana kakiku melangkah. Aku sukar mengingat arah mata angin bila bayangan sapu tangan merah jambu itu datang dalam alam bawah sadarku. Yang kurasakan, kadang aku berjalan, lalu berhenti sejenak, berjalan dan berhenti. Demikian seterusnya. Aku susah mengingatnya.
“Abang kat mana?”
“Abang!!!”
“Erik, are you OK? Where are you now?”
“Erik…Please…”
Pesan whatsapp datang bertubi-tubi. Yasmin berkali-kali menelpon. Lebih 5 kali panggilan tak terjawab. Aku terus berjalan kaki menuju apartemen menghindar dari bayangan sapu tangan merah jambu yang kembali mengusik ingatanku. Bayang wajah Hanum mulai menghilang saat kusadari tiba-tiba diriku berada di tempat yang pernah kuingat sebelumnya. “Rasanya aku mengenal tempat ini?” bisikku.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku berada di sekitar hutan kota di Damansara Heights. Tapi aku tak tahu jalan keluar dari tempat itu. Aku juga tak sadar sudah berapa lama berjalan ke arah sini. Padahal jarak antara stasiun Bangsar dan apartemenku hanya 500 meter. 15 menit jalan kaki. “Aneh?! Mengapa aku sampai di hutan ini?” bisikku. “Sekarang sudah jam 10.00 malam. Aku sudah lebih dari 3 jam jalan dari Stasiun Bangsar,” pikirku heran.
Nafasku tersengal-sengal, naik turun daerah perbukitan dalam kegelapan aku berjalan. "Aku heran, bagaimana aku bisa berjalan dalam gelap di hutan ini?" bisikku. Sebenarnya, Damansara Heights itu di jantung KL, kawasan hunian elit. Lokasinya dekat dengan bekas rumah dinas Perdana Menteri Malaysia dulu, sebelum dibangun Putrajaya. Tapi, kawasan ini dikitari hutan kota yang sangat rimbun dengan pohon-pohon besar dan tua. Tak akan kita jumpai hutan kota seperti ini di sekitar Jabotabek. Monyet-menyet ramai bergelantungan seolah menyambut kehadiranku.
“Astaghfirullah. Aku ning sor baujan (aku di bawah pohon trembesi),” aku terheran-heran. “Ya Allah, ada apa ini. Apa yang sedang Kau tunjukkan?” bisikku lagi.
Di bawah pohon trembesi ini akhirnya aku mulai bisa menguasai diriku sendiri. Aku bisa mengendalikan sapu tangan merah jambu. “Hanum bagiku hanya sekadar mantan kekasihku, itu saja. Tak lebih dari itu. Dan, kini aku adalah suami dari Yasmin,” kataku tegas dengan penuh kesadaranku. Kata-kata sejenis ini menjadi simpul ingatan ketika aku mulai sadar dari halusinasi Hanum. Aku berusaha menanamkan dalam kesadaran bawah sadarku bahwa Hanum bukan siapa-siapa.
Aku benar-benar tersesat. Sekarang berada persis di bawah pohon trembesi (samanea saman) di seberang kampus ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), sebuah kampus yang paling aku kagumi di Malaysia. Disinilah aku banyak bertemu dengan profesor-profesor hebat dari penjuru dunia. Dan lagi-lagi, aku selalu diingatkan dengan pohon trembesi itu. Anehnya harus malam-malam. Tak pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan Indramayu, bukan pula Kebumen. Aku pasti dianggap orang gila bila tiba-tiba dijumpai orang ada di tempat ini. Atau salah-salah aku bisa ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Ini Kuala Lumpur, bukan Jakarta. Orang aneh sepertiku bisa dituduh macam-macam. Bisa saja aku dituduh TKI ilegal yang sedang keluar-masuk mencari tempat persembunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
SpiritualHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...