Part 2: Cinta Terlarang

1.1K 33 8
                                    

Gus Kholid mengejarku menuju asrama. Sementara mata-mata lain terus mengintai. Pasti ada yang sedih dan gembira. Ada yang menangis dan tertawa. Ada duka dan cemooh dalam waktu yang sama. Apalah artinya untuk diriku ini. Nasi telah menjadi bubur. Berita telah menyebar: “Thariq Diusir! Thariq Diusir!”

Beberapa santri berhambur keluar kamar sejurus kehadiranku di asrama itu. Mungkin mereka memberi kesempatan aku berkemas. “Selamat tinggal pondokku,” bisik batinku menyapu semua sudut ruangan. Masa 4 tahun di pondok adalah segalanya. Disinilah aku mengeja alif-ba-ta, merenda hari-hariku dengan menghafal ayat-ayat Ilahi, berlomba mengejar antrian makan, menunggu datangnya wesel dan pos, dan disinilah aku mengigaukan mimpi-mimpi indah masa remaja.

Sungguh terasa berat.  Tanpa sadar aku bersenandung bait puisi Abu Nuwas: Ilâhî lastu lil-firdausi ahla, wa lâ aqwa ‘alâ an-nâr al-jahîm (Ya Allah, aku bukanlah ahli surga, namun aku tak mampu menanggung siksa api neraka). Syair ini tiba-tiba merasuk ingatanku meski belum saatnya terlontar. Sebuah syair puji-pujian bagi santri di Masjid Darurraskhin sebelum shalat sebagai tradisi pondok kami.

“Ilâhî lastu lil-firdausi ahla, wa lâ aqwa ‘alâ an-nâr al-jahîm.”

“Jangan lupa mampir kantor. Pamitan ke ustaz-ustaz,” tegur Gus Kholid menghentikan senandungku. Kujawab dengan anggukan pelan sambil memasukkan pakaian ke tas. Kulihat dia pun tak berharap banyak jawaban. Sahabat suka dan duka ini tampak gelisah. Dia masih tetap berdiri resah. Lalu, monda-mandir, tak tahu apa.

Rizki dan Marwan pun menemuiku tergesa-gesa. Keduanya kakak kelasku. Merekalah yang dulu merawatku saat sakit selama dua bulan di pondok. Tak banyak kata terucap. Hanya pelukan dan isak tangis mewarnai ruangan. Kami berjanji untuk tetap saling berkirimsurat.

“Aku pamit dulu. Mau belanja ke pasar. Nanti kabar-kabari ya,” kata Rizki. Sekali lagi dia tatap mataku. Memastikan bahwa aku kuat. Lalu berlalu pergi. Aku maklum. Rizkilah yang ditunjuk oleh Pak Kyai menjadi pembantu umum di dapur. Dia adalah santri senior yang bertugas untuk belanja mingguan, mengurus ternak milik pondok, dan segudang tugas bersih-bersih di dapur umum. Persahabatan dengannya tak bisa diceritakan satu atau dua semester. Sesama santri, senasib-sepenanggungan, segelas-sepiring, dan sebantal-setikar. Selama empat tahun kita minum dari sumber air yang sama. Menghirup udara pondok yang sama.  

Dalam batin aku menjerit, “Aku tak bisa jadi teladan. Kesalahanku wajib dijauhkan dari santri-santri lain. Aku pendosa. Pelanggar aturan pondok,” hatiku bergetar. Kakiku lemas. Seolah-olah salam dan pelukan mereka adalah caci-maki buat diriku.

Aku adalah pagar yang makan tanaman. Akulah orang yang dikutuk dalam Al-Qur’an: Kabura maqtan ‘indallâhi antaqûlû mâ lâ ta’malûn (Sungguh besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan). Di pondok ini, sebagai santri tahun akhir, aku telah diberi amanah untuk memimpin organisasi santri, ditugaskan untuk membantu Pak Kyai dan para ustaz untuk mengurus santri-santri junior, namun aku sendiri menjadi pelanggar utama rambu-rambu pondok. Aku diusir dari pondok ini karena ketangkap tangan berpacaran dengan sesama santri. Surat-surat cintaku disita Pak Kyai. Aku telah mempermalukan Pak Kyai. Memalukan para ustaz. Aku adalah noda hitam pondok ini. Aku adalah contoh paling tepat untuk sebuah kegagalan pendidikan pondok ini.

Tak termaafkan. Aku berhubungan terlarang dengan sesama santri. Aku masih menangkap tanda kemarahan para ustaz di kantor itu. Sorot mata mereka adalah hukuman luar biasa. Kebisuan mereka adalah pukulan telak yang menjatuhkanku. Aku adalah seonggok daging tak berharga, yang berjalan tanpa nyawa di hadapan para ustaz di kantor itu.

“Ambil surat-suratmu ini! Simpan saja buat kamu,” kata Ustaz Kahar sambil menyodorkan surat-surat cintaku yang pernah kutujukan untuk Putri Hanum. Aku cukup tegang dibuatnya. Pelan-pelan kuraih dengan tanganku.

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang